Sabtu, 11 Juni 2016

# Etnobotani

Artikel etnobotani pengawet dan pewarna alami



Artikel etnobotani pengawet dan pewarna alami
Lolita Rose 1, Rusminingsih Ida 2, Maharani Anisa 3
Program Studi Pendidikan Biologi
Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Jember
2016


Abstrak
            Etnobotani merupakan ilmu yang mempelajari mengenai penggunaan tanaman di dalam budaya yang ada di suatu masyarakat. Pengawet alami merupakan pengawet yang terbuat dari tumbuhan yang mempertahankan keadaan makanan, ataupun komponen lainnya berbentuk tetap sehingga dapat di konsumsi lebih lama lagi, pengawet alami ini biasanya terbuat dari tanaman. Beberapa contoh dari pengawet alami adalah tumbuhan beting, jangau, mengkudu (Morinda citrifolia), Engkerabai (Psychoteria sp), dan rengat (Marsdenia tinctoria). Dua spesies sebagai pewarna makanan yaitu kunyit (Curcuma domestica) dan pandan (Pandanus sp). Sedangkan pewarna alami merupakan pemanfaatan tumbuhan yang di gunakan oleh masyarakat sekitar sebagai pewarna dan digunakan secara turun temurun. Sedangkan pewarna alami merupakan pemanfaatan tumbuhan yang digunakan untuk memberikan warna pada suatu benda yang di gunakan secara turun temurun contohnya seperti kunir, pandan, kulit buah naga dan lain.

Kata kunci : Etnobotanu, Tumbuhan, Pengawet alami, Pewarna alami

I.     Pendahuluan
Etnobotani merupakan ilmu yang mempelajari mengenai penggunaan tanaman di dalam budaya yang ada di suatu masyarakat. Menurut Soekarman dan Riswan (1992) istilah etnobotani sebenarnya sudah lama dikenal, etnobotani sebagai ilmu mempelajari pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh suku-suku terkecil, saat ini menjadi perhatian banyak pakar karena keberadaanya dan statusnya. Rifai dan Waluyo (1992) mengemukakan bahwa etnobotani adalah mendalami hubungan budaya manusia dengan alam nabati sekitarnya. Dalam hal ini diutamakan pada persepsi dan konsepsi budaya  kelompok masyarakat dalam mengatur sistem pengetahuan tentang tumbuhan  yang dimanfaatkan di dalam masyarakat tersebut.
Rempah-rempah adalah bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bumbu di dapur, penguat cita rasa, pengharum, dan pengawet makanan yang digunakan secara terbatas. Rempah adalah tanaman atau bagian tanaman yang bersifat aromatik dan digunakan dalam makanan dengan fungsi utama sebagai pemberi cita rasa. Pada berbagai rempah-rempah, minyak atsiri yang dikandung bagian tumbuhan tertentu memberikan aroma yang kuat pada cita rasa (Duke et al., 1993).
Dalam hal ini pengawet alami merupakan pengawet yang terbuat dari tumbuhan yang mempertahankan keadaan makanan, ataupun hewan menjadi berbentuk tetap sehingga dapat di konsumsi lebih lama lagi, pengawet alami ini biasanya terbuat dari tanaman. Komponen pengawet atau antimikroba adalah suatu komponen yang bersifat dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau kapang (bakteristatik atau fungistatik) atau membunuh bakteri atau kapang (bakterisidal atau fungisidal). Zat aktif yang terkandung dalam berbagai jenis ekstrak tumbuhan diketahui dapat menghambat beberapa mikroba patogen maupun perusak makanan. Zat aktif tersebut dapat berasal dari bagian tumbuhan seperti biji, buah, rimpang, batang, daun, dan umbi.
Sebagai contoh misalnya biji picung mengandung senyawa antioksidan dan golongan flavonoid. Senyawa antioksidan yang berfungsi sebagai antikanker dalam biji picung antara lain : vitamin C, ion besi, dan B karoten. Sedangkan golongan flavonoid biji picung yang memiliki aktivitas antibakteri yakni asam sianida, asam hidnokarpat, asam khaulmograt, asam gorlat dan tanin. Khusus senyawa asam sianida dan tanin, kedua senyawa inilah yang mampu memberikan efek pengawetan terhadap ikan. Contoh lainnya adalah tanaman yang banyak dijumpai sebagai bumbu dapur dan obat tradisional ini, ternyata memiliki potensi sebagai bahan pengawet alami yang banyak memberikan keuntungan. Khususnya zat kimia yang terdapat dalam umbi tanaman lengkuas (Lenguas galanga). Merupakan tanaman terna tahunan, berbatang semu yang tumbuh tegak dengan tinggi1-3 meter (Oddy, 2009).
Sedangkan pewarna alami adalah pemanfaatan tumbuhan yang di gunakan oleh masyarakat sekitar sebagai pewarna dan digunakan secara turun temurun. Manusia selalu memanfaatkan tumbuhan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhannya. Satu di antara pemanfaatan tumbuhan untuk pemenuhan kebutuhan hidup seharihari adalah memanfaatkan tumbuhan sebagai pewarna. Pemanfaatan bahan pewarna alami dari tumbuhan untuk berbagai macam keperluan seperti mewarnai makanan, minuman, bahan kerajinan, alat perang, dan kosmetik. Contoh dari tumbuhan yang di gunakan sebagai pewarna alami adalah kunir, pandan, kulit buah naga dan lain-lain.
Mengenai hal tersebut banyak sekali tanaman yang dapat digunakan sebagai pengawet alami dan pewarna alami di masyarakat yang di gunakan turun temurun akan tetapi banyak sekali tanaman yang belum di ketahui manfaatnya sebagai pengawet alami dan pewarna buatan. Sehingga perlu di adakan penelitian etnobotani lebih lanjut mengenai pengawet alami dan pewarna alami di beberapa daerah maupun etnis tertentu.

II.  Pembahasan
2.1     Pewarna Alami
Dikutip dari jurnal “Kajian Etnobotani Tumbuhan Yang Digunakan Sebagai Pewarna Alami Oleh Suku Dayak Iban Di Desa Mensiau Kabupaten Kapuas Hulu” tahun 2015 yang disusun oleh Santa, Mukarlina, dan Linda. Peneliti ini mengungkapkan bahwa Suku Dayak merupakan penduduk asli Kalimantan, termasuk Kalimantan Barat Yang keberadaanya paling besar yaitu 50,8% dibandingkan etnis lainnya. Berdasarkan jurnal tersebut diketahui bahwa masyarakat suku Dayak Banyak menempati daerah pedalaman, salah satunya pedalaman Kabupaten Kapuas Hulu. Masyarakat Dayak banyak memanfaatkan tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk pemanfaatan tumbuhan dalam kehidupan masyarakat adalah sebagai penghasil pewarna alami. Warna alami sudah lama dikenal jauh sebelum ditemukannya pewarna sintetis yang banyak beredar saat ini. Masyarakat Suku Dayak Iban Di Mensiau memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan pewarna alami terutama pewarnaan benang yang akan digunakan untuk membuat tenunan pakaian adat dan pewarna makanan. Informasi  jenis tumbuhan pewarna alami dan pemanfaatannya masih minim dan belum terdokumentasi.
Tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat Dayak Iban terdapat tujuh spesies yang digunakan sebagai pewarna benang dan makanan. Lima spesies untuk mewarnai benang yaitu tumbuhan beting, jangau, mengkudu (Morinda citrifolia), Engkerabai (Psychoteria sp), dan rengat (Marsdenia tinctoria). Dua spesies sebagai pewarna makanan yaitu kunyit (Curcuma domestica) dan pandan (Pandanus sp). Bagian tumbuhan pewarna alami seperti akar, kulit batang, daun dan rimpang yang digunakan masyarakat Dayak Iban masih dilakukan proses pengolahan secara tradisional untuk mendapatkan warna yang diinginkan. Masyarakat Dayak Iban sebagian besar menggunakan pewarna alami untuk mewarnai benang yang akan dijadikan pakaian adat telah digunakan turun temurun oleh masyarakat di Desa Mensiau. Selain dijadikan pewarna benang dapat juga digunakan untuk mewarnai pakaian.
Masyarakat Dayak Iban masih mengolah tumbuhan dengan cara tradisional yaitu direbus, dijemur, dan diparut. Semua tumbuhan ini masih diolah dengan mengunakan proses tradisional, yaitu diambil bagian akar, kulit batang, daun dan rimpang untuk dilakukan penjemuran dan perebusan yang akan menghasilkan warna. Warna alami yang didapatkan dari hasil penelitian di Desa Mensiau yaitu warna kuning, coklat, dan merah. Warna kuning dihasilkan oleh tumbuhan beting, warna coklat dihasilkan dari campuran akar tumbuhan mengkudu dan kulit batang tumbuhan jangau, dan warna merah dihasilkan dari daun tumbuhan Engkerabai. Berdasarkan hasil penelitian, warna kuning dihasilkan dari tumbuhan beting dan C. domestica, warna merah dari tumbuhan Psychoteria, warna coklat dari tumbuhan M. domestica dan jangau, warna hitam dari tumbuhan M. tinctoria, dan warna hijau dari Pandanus sp.
Masyarakat Dayak Iban menggunakan 7 jenis tumbuhan untuk mewarnai benang ataupun pakaian. Benang yang diwarnai dengan pewarna alam dijadikan produk pakaian adat Dayak Iban. Suku Dayak Iban juga menggunakan 2 jenis tumbuhan sebagai pewarna makanan yaitu kunyit dan daun pandan. Bagian-bagian tumbuhan pewarna alami yang digunakan oleh masyarakat Dayak Iban di Desa Mensiau sebagai pewarnaan alami yaitu akar tumbuhan M. citrifolia, kulit batang tumbuhan Beting, kulit batang tumbuhan Jangau daun dari tumbuhan Psychoteria sp., daun dari tumbuhan M. tinctoria, daun dari tumbuhan Pandanus sp., dan rimpang dari C. domestica.
Masyarakat Dayak Iban masih mengunakan cara tradisional dalam proses pengolahan tumbuhan pewarna alami yaitu dengan cara mengambil bagian-bagian dari tumbuhan yang telah ditentukan misalnya akar M. citrifolia dipotong kecil-kecil kemudian dijemur sampai kering, selanjutnya direbus bersama kulit batang jangau yang telah dibersihkan kemudian ditumbuk sampai halus. Kulit batang beting dipotong kecil-kecil kemudian direbus bersama daun Klempait. Daun Klempait berfungsi untuk memberikan aroma pada benang. Daun Psychoteria direbus sampai layu, kemudian diberi kapur sirih secukupnya. Proses ini dilakukan untuk semua tumbuhan pewarna alami yang akan digunakan sebagai kain tenunan. Proses pengolahan dilakukan untuk mendapatkan warna yang baik. Tahap pengolahannya yaitu perebusan, selanjutnya dilakukan perendaman benang pada air hasil rebusan selama 1x24 jam. Semakin lama benang direndam semakin baik warna yang dihasilkan dan tidak mudah pudar pada saat pencucian benang.

2.2     Pengawet Alami
Etnobotani adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari tentang pengetahuan dan penggunaan tumbuhan oleh masyarakat lokal. Semakin terbukanya gaya hidup modern dan tersedianya sumber-sumber alternatif lain menyebabkan masyarakat lebih jarang menggunakan hasil tanamannya secara langsung. Hal ini akan mengarah pada hilangnya pengetahuan etnobotani dalam masyarakat, dibuktikan dengan semakin sedikitnya masyarakat yang layak dijadikan sebagai informan saat dilakukan penelitian etnobotani. Oleh karena perlu upaya untuk melestarikan pengetahuan etnobotani di masyarakat.
Salah satu bentuk kajian etnobotani yang ada salah satunya yaitu tentang pemanfaatan tumbuhan alami yang ada disekitar lingkungan masyarakat sebagai bahan pengawet alami. Pada jurnal kajian etnobotani yang berjudul Desain Kurikulum Muatan Lokal sebagai Upaya Konservasi Pengetahuan Etnobotani Suku Osing di Kabupaten Banyuwangi oleh Muhammad Sulthon, Iis Nur Asyiah, Sulifah Aprilya H. Pada penelitian tersebut mengangkat topik tentang berbagai kajian etnobotani pada masyarakat Osing Banyuwangi salah satunya tentang pengawet alami dari tumbuhan.
Dari hasil penelitian etnobotani pengawet alami oleh masyarakat Using telah terinventarisasi 8 spesies tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pengawet alami. Dari 8 spesies tumbuhan hasil wawancara, terdapat 4 spesies tumbuhan yang memiliki nilai UV tinggi yaitu pisang (Musa paradisiaca) dengan nilai UV 0,63, kecandik (tidak teridentifikasi), pinang (Areca catechu L.) dengan nilai UV 0,21, dan kemiri (Aleurites moluccana) dengan nilai UV 0,13. Daun pisang, daun pinang, daun kecandik, dan daun kemiri digunakan untuk pengawet makanan dengan cara membungkus makanan yang akan diawetkan secara langsung menggunakan daun kemudian dikukus atau buah dari tumbuhan diperas langsung ke dalam makanan.

III.   Penutup
3.1  Kesimpulan
Masyarakat Suku Dayak Iban Di Desa Mensiau Kabupaten Kapuas Hulu masih menggunakan pewarna alami secara turun temurun. Di temukan berbagai macam tumbuhan yang di gunakan sebagai pewarna alami di desa mensiau kabupaten kapuas hulu yaitu lima spesies untuk mewarnai benang yaitu tumbuhan beting, jangau, mengkudu (Morinda citrifolia), Engkerabai (Psychoteria sp), dan rengat (Marsdenia tinctoria). Dua spesies sebagai pewarna makanan yaitu kunyit (Curcuma domestica) dan pandan (Pandanus sp).
Sedangkan pengawet alami yang ditemukan di kabupaten bayuwangi utamanya adalah masyarakat suku osing yang di gunakan secara turun temurun oleh warga masyarakat tersebut. Banyak sekali tumbuhan yang di gunakan sebagai pengawet alami oleh masyarakat osing yaitu 4 spesies tumbuhan yang memiliki nilai UV tinggi yaitu pisang (Musa paradisiaca) dengan nilai UV 0,63, kecandik (tidak teridentifikasi), pinang (Areca catechu L.) dengan nilai UV 0,21, dan kemiri (Aleurites moluccana) dengan nilai UV 0,13.

Daftar Pustaka
Duke. 1993. Elder’s Practice of Refraction 10th Edition. Edinburgh: Churchill Livingstone
Rifai, M.A. & E.B. Waluyo. 1992. Etnobotani dan Pengembangan Tetumbuhan Pewarna Indonesia: Ulasan Suatu Pengamatan di Madura. Jurnal Semiloknas Etnobotani. Vol 3 (1): Hal 119-126.
Riswan, S. & Soekarman, 1992. Status Pengetahuan Etnobotani di Indonesia. Prosiding Seminar Etnobotani.
Santa dkk. 2015. Kajian Etnobotani Tumbuhan Yang Digunakan Sebagai Pewarna Alami Oleh Suku Dayak Iban Di Desa Mensiau Kabupaten Kapuas Hulu. Jurnal Protobiont Vol 4 (1).
Sulthon, Muhammad,  Asyiah, Iis Nur,  Aprilya, Sulifah H. Desain Kurikulum Muatan Lokal sebagai Upaya Konservasi Pengetahuan Etnobotani Suku Osing di Kabupaten Banyuwangi.


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates