Rabu, 22 Juni 2016

# Bioteknologi

LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TUMBUHAN Acara III (Sub Kultur)



PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TUMBUHAN

Acara III
(Sub Kultur)


Oleh :
Kelompok 4/ Shift 1
Marisanti                                      (110210103003)
Titan Satria Ananda                   (120210103014)
Ayuni Dwi Anggraeni                 (120210103024)
Rose Lolita                                   (120210103027)
Siti Nailatul Farkhah                   (120210103035)
Novi Cahya Christanty               (120210103037)
Ida Rusminingsih                         (130210103041)
Heni Lusiana                                (130210103044)
Nina Asmayah                             (130210103047)
Anisya’ Miftahul Khusna           (130210103091)
Jurusan Pendidikan Biologi FKIP Unej




LABORATORIUM KULTUR JARINGAN TUMBUHAN
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kultur jaringan tanaman sebagai salah satu aplikasi dari bioteknologi tanaman merupakan budidaya tanman yang dikerjakan secara in vitro. Kultur jaringan yang dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture didefinisikan sebagai suatu teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara invitro, yang dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kondisi nutrisi lengkap dan ZPT serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol.
Kultur jaringan tanaman akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang dibutuhkan dapat terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi: pemilihan eksplan/ bahan tanam, penggunaan media sesuai, keadaan yang aseptik dan pengaturan lingkungan tempat tumbuh yang sesuai. Pemilihan eksplan perlu mendapat perhatian karena itulah yang nanti akan menentukan kualitas bibit yang akan dihasilkan. Paling baik apabila eksplan berasal dari jaringan yang masih muda karena sel-selnya masih aktif membelah.
Berdasarkan bagian tanaman yang dikulturkan secara lebih spesifik terdapat tipe-tipekultur yaitu, kultur kalus, kultur suspensi sel, kultur anter, kultur akar, kultur pucuk tunas,kultur embrio, kultur ovul, dan kultur kuncup bunga. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman dengan menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat yang steril.
Inisiasi pembentukan kalus merupakan salah satu langkah penting yang menentukan keberhasilan teknik kultur in vitro. Kalus merupakan massa sel yang tidak terorganisir, padamulanya sebagai respon terhadap pelapukan (wounding). Pembelahan selnya menjadi tidak terkendali, sel-selnya mengalami proliferasi yaitu membelah terus menerus dengan sangat cepat, hal ini dimungkinkan karena sel-sel tumbuhan yang secara alamiahnya bersifat autotrof dikondisikan menjadi heterotrof oleh adanya nutrisi yang cukup komplek dan zat pengatur tumbuh di dalam medium kultur. Selain dari luka bekas irisan, kalus juga dapat berasal dari pembelahan sel-sel kambium yang terus membelah dan berpoliferasi. Poliferasi sel-sel akan menjadi lebih baik jika eksplan yang digunakan berasal dari jaringan yang masih muda. 
Sel-sel kalus secara fisiologis dan biokimia sangat berbeda dengan sel-sel eksplannya yang sudah terdiferensiasi. Sel-sel pada kalus bersifat meristematik dan merupakan salah satu wujud dari dediferensiasi. Dediferensiasi merupakan reversi darisel-sel hidup yang telah terdiferensiasi menjadi tidak terdiferensiasi, atau dengan kata lainmenjadi meristematik kembali. Dediferensiasi merupakan langkah awal bagi perbanyakanvegetatif dengan teknik kultur in vitro karena merupakan dasar terjadinya primerdia tunas danakar.Kalus dapat diperbanyak secara tidak terbatas dengan cara memindahkan sebagian kecilkalus kedalam medium baru (sub kultur). Kalus dengan sel-selnya yang bersifat meristematik, dapat didispersikan di dalam medium cair sehingga dapat diperoleh kultur  suspensi sel. Teknik kultur jaringan melalui kultur kalus merupakan salah satu metode untuk budidaya tanaman untuk mendapatkan metabolit sekunder dalam waktu yang relatif singkat.

1.2 Tujuan
Mengetahui pertumbuhan kultur baru setelah dilakukan subkultur dengan media yang berbeda








BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Gunawan (dalam Husain, 2012) menyatakan kultur jaringan yaitu salah satu teknik perbanyakan alternatif pada tanaman. Prinsip kultur jaringan ialah mengisolasi eksplan yaitu sel atau jaringan tanaman yang diambil dari bagian tanaman, misalnya protoplasma, sel atau sekelompok sel, kemudian distimulasi untuk membentuk tanaman secara utuh menggunakan media dan lingkungan tumbuh yang sesuai. Kultur jaringan ialah membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil dengan sifat seperti induknya . Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk memperoleh tanaman dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat serta bebas penyakit. Multiplikasi tanaman yang tinggi dapat dihasilkan dari tanaman yang ditumbuhkan secara  in. Perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan bertujuan untuk memperoleh bahan tanaman steril yang digunakan untuk perbanyakan benih (Aisyah, 2011).
Teknik kultur jaringan didasarkan atas teori sel yang menerangkan bahwa setiap sel tanaman merupakan unit bebas yang mampu membentuk organisme baru dengan sempurna melalui sifat totipotensi yang dimilikinya (Sastrowijoyo dalam Husain, 2012). Manfaat dari metode kultur jaringan ialah menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak, dengan sifat seragam dan dalam waktu singkat. Disamping itu teknik kultur jaringan dapat memproduksi bibit dalam jumlah besar dengan waktu yang relatif singkat, bebas patogen, identik dengan induknya dan tidak dipengaruhi musim.
Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan yaitu memiliki sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar, sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit terjamin dan kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional. Metode kultur jaringan dikembangkan untuk dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya tanaman yang sulit dikembangkan secara generatif. Kultur organ yaitu kultur yang diinisiasi dari organ organ tanaman seperti pucuk terminal dan aksilar, meristem, daun, batang, ujung akar, bunga, buah muda, embrio dan lain sebagainya.
Sel-sel akan terus membelah, yang mana jika pembelahannya terkendali maka akan membentuk massa sel yang tidak terorganisasi yang disebut kalus. Pembelahan sel yang tidak terkendali itu disebabkan oleh sel-sel tumbuhan, yang secara normal bersifat autotroph, dikondisikan menjadi heterotroph dengan memberikan nutrisi yang kompleks di dalam media kultur jaringan. Laju pertumbuhan sel, jaringan dan organ tanaman di dalam kultur akan menurun setelah periode tertentu, yang terlihat dengan terjadinya kematian sel atau nekrosis pada eksplan yang disebabkan menyusutnya kadar nutrient pada media dan senyawa racun yang terbentuk dan dilepaskan oleh eksplan di sekitar media. Bila gejala demikian muncul maka harus segera dilakukan pemindahan sel, jaringan atau organ ke dalam media baru, proses ini disebut dengan sub kultur (Yuliarti, 2010).
Sub kultur merupakan salah satu tahap dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. Prinsip dasarnya sub kultur ialah memotong, membelah dan menanam kembali eksplan yang telah tumbuh sehingga jumlah tanaman akan bertambah banyak (Hendrayono, 1994). Sub kultur adalah memindahkan eksplan ke media multiplikasi dengan tujuan perbanyakan atau pengakaran suatu eksplan. Sub kultur dilakukan jika eksplan pada medium kultur mengalami browing sebagai indikasi dari kematian sel dan ketidakpratisan fungsi media (Yann dkk., 2012). Eklspan yang baru saja ditanam dan diinkubasikan dalam ruangan incubator akan menghasilkan kalus. Bila kalus sudah cukup umur maka dapat dilakukan sub kultur. Kalus yang terlambat disub-kulurkan tidak dapat berkembang dengan baik.
Subkultur adalah usaha untuk mengganti media tanam kultur jaringan dengan media yang baru, sehingga kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kalus atau protokormus dapat terpenuhi. Sub kultur dilakukan atas dasar suspensi atau kandungan nutrisi dalam media tidak mencukupi untuk pertumbuhan planlet, baik dipengaruhi oleh hilangnya nutrisi yang menyebabkan perlunya penambahan nutrisi dalam medium dan hilangnya karbohidrat yang kesemuanya dibutuhkan dalam proses metabolisme (Boisson dkk., 2012).
Kegiatan sub kultur disesuai dengan jenis tanaman yang dikulturkan. Setiap tanaman memiliki karakteristik dan kecepatan tumbuh yang berbeda-beda yang menyebabkan cara dan waktu sub kultur juga berbeda-beda. Secara garis besar teknik sub kultur dibagi menjadi 4 yaitu:
1.      Teknik sub kultur untuk tanaman yang harus segera atau cepat di sub kultur.
2.      Teknik sub kultur untuk tanaman yang relatif lama di sub kultur.
3.      Teknik sub kultur untuk tanaman yang diperbanyak dengan multifikasi tunas, maka subkultur dapat dilakukan dengan memisahkan anakan tanaman dari koloninya atau melakukan penjarangan.
4.      Untuk tanaman yang tipe pertumbuhannya dengan pemanjangan batang maka sub kultur bisa dilakukan dengan memotong tanaman per ruas tanaman yang ada. Namun jika ada planlet yang masih terlalu kecil dan beresiko tinggi untuk dipotong, maka sub kulturnya cukup dilakukan dengan dipisahkan dari induknya dan ditanam kembali secara terpisah (Hendrayono, 1994).
Teknik sub kultur tanaman pada media padat lebih mudah dilakukan yaitu hanya dengan meletakkan kalus yang sudah terbentuk di atas cawan petri, kemudian membagi menjadi bagian bagian kecil dengan menggunakan skalpel dan pinset. Setelah pemotongan kalus menjadi bagian yang kecil, maka dimasukkan kembali ke dalam botol kultur baru yang berisi media dengan komposisi bahan kimia sama seperti media lama. Kemudian botol kultur  ditutup dan diinkubasikan kembali.. Tahapan tahapan dalam sub kultur terdiri dari :
a.       Regenerasi
b.      Multiplikasi, bertujuan untuk memperbanyak  tunas.
c.       Pengakaran, ialah tahapan dimana masing masing plantlet tumbuh dan mengalami pembesaran, pengakaran dan perangsangan aktifitas fotosintesis.
d.      Inisiasi, yaitu melakukan sebanyak 8 – 10 kali sehingga menghasilkan sejumlah besar tunas) dari satu eksplan.
e.       Mikropopagasi, merupakan tunas yang dibesarkan atau diakarkan .
            Faktor yang mempengaruhi keberhasilan sub kultur sama dengan faktor yang menentukan keberhasilan kultur jaringan antara lain:
1.      Genotipe Tanaman
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis eksplan dalam kultur jaringan adalah genotip tanaman asal eksplan diisolasi. Perbedaan respon genotip tanaman tersebut dapat diamati pada perbedaan eksplan masing masing varietas untuk tumbuh dan beregenerasi
2.      Media kultur
Perbedaan komposisi media, seperti jenis dan komposisi garam garam anorganik, senyawa organik, zat pengatur tumbuh sangat mempengaruhi respon eksplan saat dikulturkan. Perbedaan komposisi media sangat mempengaruhi arah pertumbuhan dan regenerasi eksplan (Yuliarti, 2010).
3.      Lingkungan tumbuh
Faktor lingkungan tumbuh yang dimaksud ialah suhu, kelembaban, cahaya dan lain sebagainya. Umumnya suhu yang digunakan dalam kultur jaringan lebih tinggi dari kondisi suhu lingkungan, hal ini bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan dan morfogenesis eksplan. Dalam aspek kelembaban relatif dalam botol kultur dengan mulut botol yang ditutup umumnya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 80-99%. Kelembaban udara dalam botol kultur yang terlalu tinggi menyebabkan tanaman tumbuh abnormal yaitu daun lemah, mudah patah, tanaman kecil-kecil namun terlampau sukulen. Kondisi demikian dapat diatasi dengan melakukan sub kultur ke media lain dan meletakkan dengan tutup yang agak longgar. Sedangkan untuk aspek intensitas cahaya, lama penyinaran atau photoperiodisitas berpengaruh terhadap pertumbuhan eksplan yang dikulturkan .
4.      Kondisi Eksplan
Kondisi eksplan yang mempengaruhi keberhasilan teknik kultur jaringan antara lain jenis eksplan, ukuran, umur dan fase fisiologis jaringan yang digunakan sebagai eksplan. Adapun pengaruh tersebut ialah umur eksplan berpengaruh terhadap kemampuan eksplan untuk tumbuh dan beregenerasi. Eksplan yang masih muda adalah eksplan yang baik untuk perbanyakan tanaman secara kultur jaringan pada jaringan tersebut masih berproliferasi dibandingkan jaringan yang berkayu atau yang sudah tua .






















BAB III. METODE PELAKSANAAN
3.1 Waktu dan Tempat
Pelaksanaan praktikum Kultur Jaringan Tumbuhan dengan acara Sub Kultur dilaksanakan pada hari Sabtu, 29  Mei 2016 pukul 09.00 – 12.00 WIB di Laboratorium Kultur Jaringan Jurusan Budidaya Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jember.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Ø  Laminar Air Flow (LAF)
Ø  Bunsen
Ø  Botol kultur
Ø  Petridish
Ø  Beaker glass
Ø  Pinset
Ø  Scalpel
3.2.2 Bahan
Ø  Alkohol 70 %
Ø  Media (MS 0, 2.4D 0,5 ppm,  BAP 0,5 ppm, IAA 0,5 ppm , BAP 1.0 ppm + IBA  0.5 ppm )
Ø  Kultur tembakau dan kultur kentang






3.3 Cara Kerja
1. Tembakau
2. Kentang


BAB IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan
Ulangan
Kentang
Tembakau
Hari ke 4
Hari ke 5
Hari ke 4
Hari ke 5
PT
A
T
PT
A
T
PT
A
T
PT
A
T
A1
0
2
0
1.4
2
2
0
0
0
0
0
0
A2
1.75
0
3
0
0
0
0.25
0
0.5
0.75
0
0.5
B1
0.3
1
1
0.4
1
2
0
0
0
0
0
0
B2
1.5
0
2
0
0
0
0.75
2
1
3.2
2
2.5
C1
0
4
0
0
5
0
0
0
0
0
0
0
C2
1.25
0
2
0
0
0
0.25
0
0.5
0.5
0
1
D1
0.2
0
1
0.3
2
1
0
0
0
0
0
0
D2
1.75
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Keterangan :
A : 2.4 D = 0.5 ppm
B : BAP = 0.5 ppm
C : IAA = 0.5 ppm
D : BAP + IBA= 0.5 ppm
PT : panjang tunas
∑A : jumlah akar
∑T  : jumlah tunas
4.2 Pembahasan
Pada praktikum bab mengenai subkultur ini menggunakan bahan tembakau dan kentang. Praktikum ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan kultur baru setelah dilakukan subkultur dengan media yang berbeda.  Pada  saat percobaan dilakukan pengamatan pada hari ke-4 dan hari ke-5 dengan 4 kali pengulangan. Setiap kelompok tersebut melakukannya dengan perlakuan pada botol A dengan 2, 4D 0,5 ppm, botol B menggunakan BAP 0,5 ppm, botol C menggunakan IAA 0,5 ppm, sedangkan botol D menggunakan BAP 0,5 ppm dan IBA 0,5 ppm.
Langkah kerja untuk melakukan percobaan ini dengan cara  praktikan melakukan sterilisasi lingkungan LAF dan tangan selama pengerjaan dengan menggunkan alcohol. Begitu juga dengan alat-alat yang dipakai. Selanjutnya mendekatkan botol kultur jaringan ke bunsen, lalu mengeluarkan tanaman tembakau dan kentang dari botol kultur. Tanaman yang telah dipilih diletakkan pada petridish steril. Melakukan pemisahkan satu per satu tanaman yang tumbuh menggerombol menggunakan pinset. Pada tanaman kentang memotong internodusnya tanpa menghilangkan daunnya sedangakan untuk tanaman tembakau daun-daunnya dihilangkan lalu dipotong internodusnya. Ketika medium baru siap, selanjutnya tanaman tersebut ditanamkan ke 4 botol yang baru berisi agar nutrisi. Terakhir tanaman tersebut siap untuk dikembangbiakkan ditempat penyimpanan yang steril dengan cahaya yang cukup.
Hasil pengamatan yang sudah diperoleh menunjukkan pada hasil kelompok 2 tidak ada pemanjangan tunas, bertambahnya jumlah akar dan tunas dikarenakan pertumbuhan tembakau cukup sulit untuk disubkultur. Ini terjadi karena saat proses penanaman praktikan seringa mengabaikan proses sterilisasi alat, bahan, maupun tangan praktikan. Selain itu kondisi LAF sebelum digunakan seharusnya dicek dahulu kondisinya, saat penyalaan lampu UV dan lampu neon harus diperhatikan lamanya penggunaan kedua lampu tersebut. Hasil dari kelompok yang menggunakan kentang dan tembakau mengalami pertumbuhan yang drastis hanya terjadi pada pengulangan botol C. Sebab botol C yang menggunakan nutrisi IAA 0,5 ppm mempengaruhi pertumbuhan dominan pada tunas. Hanya pengulangan yang pertama saja jumlah akarnya yang bertambah.. Ini sesuai dengan penelitian dari Khajehpour (2014), sebab IAA atau auksin adalah hormone tumbuhan yang diaplikasikan untuk menginduksi akar, sehingga hasil tersebut sesuai dengan literature. Seharusnya yang lebih dominan adalah pada bagian pucuk.
Sedangkan pertumbuhan pada tanaman kentang,  menurut hasil pengamatan yang diperoleh menunjukkan bahwa pertumbuhan tunas pada pengulangan A2 semula panjang tunas 1,75 cm dengan jumlah tunas sebanyak 3, sedangkan pada tanaman tembakau semula tunas 0,25 cm dengan jumlah tunas 0,5, pada hari kelima panjang tunas tersebut menjadi 0,75 dengan jumlah akar 0,5. Ini menujukkan bahwa botol yang berisi 2,4 D 0,5 ppm mempengaruhi pertumbuhan tunas kedua tanaman. 2,4 D 0,5 ppm termasuk hormon auksin. Namun, hormon tersebut mengalami sintesis. Hormon auksin yang terjadi secara alami memiliki kemampuan lebih baik dari hormone ini.
Pada perlakuan yang menggunakan BAP 0,5 ppm ( botol B) menunjukkan hasil pemanjangan tunasnya bertambah namun akarnya tidak mengalami penambahan jumlah. Ketika pengulangan B1 pada tanaman tembakau menunjukkan 0 ini disebabkan oleh ketahanan tembakau yang tidak sesuai dengan ZPT BAP 0,5 ppm. Sitokinin seperti benzyl aminopurine (BAP) dan kinetin diketahui untuk mereduksi meristem apical dan akar adventive pada tanaman yang diuji (Ngomuo, 2013). Fungsi dari beberapa zat pengatur tumbuh ini beragam untuk ZPT auksin (2,4-D, IAA, NAA) berfungsi untuk  pembelahan sel dan  pembentukan akar, sedangkan  sitokinin (kinetin, BAP) berguna untuk membantu pembelahan sel dan diferensiasi tunas adventif. Fungsi dari ZPT 2,4 D dan IAA menunjukkan hasil yang kurang sesuai dengan fungsi dari hormone tersebut yang termasuk hormone auksin yang seharusnya dapat menimbulkan pertumbuhan akar.
Menurut Ibironke (2016), bahwa pengaruh dari hormone IBA dan NAA memberikan penambahan jumlah akar antara 3 sampai 29, dengan panjang 2,5 cm dan 10 cm dari penelitiannya mengenai tanaman Mussaenda philippica. Sedangkan perlakuan ZPT BAP pada botol B (BAP 0,5 ppm) dan D (BAP, IBA 0,5 ppm) menyebabkan hasil yang sesuai. Namun hasil pada tanaman tembakau yang dengan penambahan IBA tidak sesuai dengan fungsinya ditunjukkan hasil 0 bahwa seharusnya terdapat pertambahan akar.
Pengaruh dari keempat perlakuan tersebut dilakukan untuk mengoptimalkan pertumbuhan setiap tanaman sesuai dengan  zat pengatur tumbuh yang dipakai. Sebab, tanaman tersebut dipindahkan/ disubkultur karena sudah melebihi dari masa inkubasinya. Ini terjadi karena sudah muncul akar, batang, dan daun sehingga pertumbuhannya ini mengurangi nutrisi ZPT yang ada sehingga menjadi kering. Beberapa tanaman mulai menunjukkan pertumbuhan yang abnormal yakni berwarna pucat pada bagian batang, pada kentang menggerombol kecil pertambahan tingginya terhambat, serta kondisi agar yang pecah/ mengering. Warna tanaman yang pucat atau menjadi coklat karena terdapat senyawa fenolik pada tanaman tersebut. Warna yang menjadi coklat disebabkan oleh adanya larutan fenol yang mengikat oksigen dari luar, sehingga terjadi oksidasi senyawa fenolik
Kendala yang terjadi ketika pertumbuhannya tidak sesuai dengan zat pengatur tumbuhnya dikarenakan terjadinya kontaminasi. Ketahanan tanaman yang  berbeda sehingga kondisi lingkungan sangat mempengaruhi pertumbuhan kedua tanaman. Menurut Okinyi (2012), mengungkapkan kultur jaringan memiliki banyak keuntungan  produksi bahan tanam menjadi bebas penyakit dan dapat diproduksi dalam jumlah besar sehingga memungkinkan penyebaran cepat. Namun, karena terjadi kontaminasi tanaman tersebut dipengaruhi ketika melakukan persiapan  alat dan bahan tidak memperhatikan sterilisasi alat maupun tangan praktikan sebelum melakukan pemindahan. Terdapat banyak mikroba yang sangat mudah menyebabkan terjadinya jamur maupun infeksi bakteri pada tanaman khususnya tembakau. Ada juga yang disebabkan masih tersisanya nutrisi di media lama yang masih terbawa saat pemindahan sebab tanaman yang dilakukan tidak dibersihkan dengan air mengalir. Sedangkan faktor dari lingkungan pH, kelembapan, cahaya, dan nutrisi yang dibutuhkan kedua tanaman tersebut ada yang tidak sesuai. Sebab, ketika penanamannya tidak melekat pada agar menjadikan tanaman tersebut tidak dapat optimal mendapatkan zat pengatur tumbuh yang maksimal dengan kondisi lingkungan yang kurang mendukung.
Sifat totipotensi pada sel tumbuhan menyebabkan eksplan tumbuhan yang dikulturkan pada media agar yang mengandung nutrisi untuk pertumbuhan tanaman serta telah diberikan zat pengatur tumbuh (ZPT), akan mengalami pembelahan dan pemanjangn sel – sel sehingga berkembang menjadi akar, yang dipengaruhi oleh hormon auksin yang merangsang pembentukan akar lateral. Umumnya eksplan akan membentuk akar pada minggu awal pertumbuhan, kemudian dilanjutkan dengan pertumbuhan tunas-tunas. Tunas dapat terbentuk karena konsentrasi hormon sitokinin lebih besar daripada konsentrasi hormon auksin (IAA). Tetapi jika konsentrasi hormon auksin (IAA) lebih besar daripada konsentrasi hormon sitokinin, maka yang terbentuk adalah kalus yaitu sekumpulan sel amorphous (tidak berbentuk atau belum terdiferensiasi) yang terbentuk dari sel-sel yang membelah terus menerus secara in vitro atau di dalam tabung.
Hal ini sesuai dengan teori, menurut Munarti dan Kurniasih (2014), pemberian IAA dalam  media kultur berpengaruh nyata terhadap inisiasi akar, sedangkan BAP dan interaksinya berpengaruh tidak nyata terhadap inisiasi akar. Auksin memiliki peranan yang penting dalam inisiasi akar pada kultur in vitro, bahwa auksin berperan dalam memacu pembentukan akar lateral dari kalus yang belum terdiferensiasi.
Sedangkan pemberian hormonsitokinin (BAP)  dalam media   kultur   berpengaruh   nyata   terhadap panjang   tunas sedangkan    IAA    dan interaksinya berpengaruh tidak nyata terhadap panjang tunas (table 5). Pertambahan     tinggi     dapat     dipengaruhi denganadanya   penambahan   zat   pengatur tumbuh,  khususnya pemberian  zat  pengatur tumbuh  berupa  hormon sitokinin (BAP)  yang  dapat merangsang pertumbuhan tinggi eksplan kentang dengan cepat.
            Menurut sumber teori yang lebih spesifik, oleh Aladele, et. all (2012), Di antara semua hormon pertumbuhan yang digunakan, IBA ( 0.05 mg / l ) + BAP ( 0.01 mg / l ) kombinasi memberikan hasil terbaik untuk kedua perakaran dan panah sementara terbanyak node ditemukan di BAP ( 0.05 mg / l ) + NAA ( 0.01 mg / l ). Penerapan kinetin baik dalam kombinasi dengan naa dan sendirian mengakibatkan prematur penuaan dengan nomor tangaki lebih rendah. Hal ini merupakan sebuah ketentuan untuk 27 hasil yang menunjukkan bahwa kinetin bukan penyimpan hormon untuk regenerasi sel, terutama jika itu akan tetap ditumbuhkan secara in vitro untuk waktu yang lama. Namun BAP ( 0.05 mg / l ) + IAA( 0.01 mg / l ) adalah kombinasi yang memunculkan paling sedikit tangkai dan kallus yang dihaslkan tanpa regenerasi menjadi plantlet. Hasil menunjukkan bahwa pertumbuhan T. occidentalis secara in vitro dipengaruhi oleh hormon yang spesifik.
Pada setiap plantet yang di subkultur , media yang digunakan berbeda beda. Ada 4 macam media yang digunakan dalam penanaman subkultur , media nya yaitu hormon sitokinin (BAP) , hormon auksin (IAA) , IBA ,dan 24 D . Plantet yang digunakan yaitu dari tanaman tembakau dan kentang . Dalam pengamatan kelompok kami menggunakan plantet dari kentang yang ditanam dalam ke empat media tersebut, dari hasil pengamatan yang dilakukan, laju pertumbuhan tunas dan akar yang lebih cepat dan lebih banyak jumlahnya adaalah pada tanaman kentang dengan induksi hormon auksin (IAA).
Hal tersebut sesuai dengan teori, menurut Purwanto (2009), terdapat jenis – jenis media yang digunakan dalam kultur jaringan yang disesuaikan dengan zat pengatur tumbuh , yaitu auksin dan sitokinin.  Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang pertumbuhan kalus akar, suspensi sel dan organ Contoh hormon kelompok auksin adalah 2,4 Dikloro Fenoksiasetat (2,4-D), Indol Acetid Acid (IAA), Naftalen Acetid Acid (NAA), atau Indol Buterik Asetat (IBA). Jadi plantet yang ditanam paada media ini pertumbuhannya akan berpusat pada kalus , akar, suspensi sel dan organ.
Hormon sitokinin berperan untuk merangsang pembelahan sel dan merangsang pertumbuhan tunas pucuk. Golongan ini sangat penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah kinetin, ziatin, benzilaminopurine (BAP). Jadi plantet yang ditanam paada media ini pertumbuhannya akan berpusat pada kalus , akar, suspensi sel dan organ.



















BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Setelah melakukan praktikum ini menunjukkan hasil kelompok 2 dengan perlakuan BAP tidak ada pemanjangan tunas, bertambahnya jumlah akar dan tunas dikarenakan pertumbuhan tembakau cukup sulit untuk disubkultur. Hasil dari kelompok yang menggunakan kentang dan tembakau mengalami pertumbuhan yang drastis menggunakan nutrisi IAA 0,5 ppm mempengaruhi pertumbuhan dominan pada tunas. Pertumbuhan yang terjadi pada tunas pengulangan A2 semula panjang tunas 1,75 cm dengan jumlah tunas sebanyak 3, sedangkan pada tanaman tembakau semula tunas 0,25 cm dengan jumlah tunas 0,5, pada hari kelima panjang tunas tersebut menjadi 0,75 dengan jumlah akar 0,5. Ini menujukkan bahwa botol yang berisi 2,4 D 0,5 ppm mempengaruhi pertumbuhan tunas kedua tanaman. 2,4 D 0,5 ppm termasuk hormon auksin.Ketika melakukan perlakuan yang menggunakan BAP 0,5 ppm ( botol B) menunjukkan hasil pemanjangan tunasnya bertambah namun akarnya tidak mengalami penambahan jumlah.
5.2 Saran
            Ketika melakukan teknik aseptic seharusnya praktikan benar-benar memahami kondisi lingkungan yang kurang baik untuk pertumbuhan subkultur sehingga harus sering melkukan sterilisasi lingkungan dan alat.






DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S. dan Surachman, D. 2011. Teknik Sterilisasi Rimpang Jahe sebagai Bahan Perbanyakan Tanaman Jahe Sehat Secara In Vitro. Jurnal Buletin Teknik Pertanian, 16 (1) : 34-36.
Aladele, S.E. 2012. The Science of Plant Tissue Culture as a Catalyst for Agricultural and Industrial Development in an Emerging Economy. http://dx.doi.org/10.5772/51843. Licensee In Tech.
Boisson, A.M., Gout, E., Bligny, R., dan Rivassaeau, C. 2012. A simple and efficient method for the long-term preservation of plant cell suspension cultures. Plant Methods. Vol: 8 (4).
Hendrayono, D. P. S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta: Kanisius
Husain, Indriati. 2012. Induksi Protocorm pada Eksplan Bawang Putih pada Media MS Minim Hara Makro dan Mikro yang Ditambahkan Air Kelapa. JATT. Vol: 1 (1) : 28-32.
Ibironke, Okunlola. 2016. Effect of Media and Growth Hormones on the Rooting of Queen of Philippines (Mussaenda philippica). Journal of Horticulture. Nigeria. The Federal University of Technology. Vol: 3:1.
Khajehpour, Ghoudarz. 2014. Effect of Different Concentrations of IBA (Indulebutyric Acid) Hormone and Cutting Season on the Rooting of the Cuttings of Olive (Olea Europaea Var Manzanilla). International Journal of Advanced Biological and Biomedical Reseach. Iran: Training Center of Jahad e Agricultural of Southern. Vol: 2 (12), 2920-2924.
Munarti dan Kurniasih, Surti. 2014. Pengaruh Konsentrasi IAA dan BAP Terhadap Pertumbuhan Stek Mikro Kentang Secara In Vitro. Jurnal Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Pakuan. Vol I No. 1 April 2014.
Ngomuo: Munguatosha. The Effects of Auxins and Cytokinin on Growth and Development of (Musa sp.) Var. “Yangambi” Explants in Tissue Culture. American Journal of Plant Sciences. Tanzania: Nelson Mandela African Intitution of Sciece and Technology. Vol 4: 2174-2180.
Okinyi, Kwame. 2012. Low Cost Tissue Culture Technology in the Regeneration of Sweet Potato (Ipomoea batatas (L) Lam). Research Journal of Biology. Kenya. Kenyatta University. Vol. 02.  pp. 51-58.
Purwanto, Arie.2009. Pesona Anggrek Vanda. Yogyakarta: Kanisius.
Yann, L.K., Jelodar, N.B., dan Keng, C.L. 2012.  Investigation on the effect of subculture frequency and inoculum size on the artemisinin content in a cell suspension culture of Artemisia annua L. Australian Journal of Crop Science. Vol 6 (5) : 801-807
Yuliarti, Nurheti. 2010. Kultur jaringan tanaman skala rumah tangga. Yogyakarta: Andi

  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates