Artikel etnobotani pengawet
dan pewarna alami
Lolita Rose 1, Rusminingsih Ida 2, Maharani Anisa 3
Program Studi Pendidikan Biologi
Jurusan
Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas
Jember
2016
Abstrak
Etnobotani
merupakan ilmu yang mempelajari mengenai penggunaan tanaman di dalam budaya
yang ada di suatu masyarakat. Pengawet
alami merupakan pengawet
yang terbuat dari tumbuhan yang mempertahankan keadaan makanan, ataupun komponen
lainnya berbentuk tetap sehingga dapat di konsumsi lebih lama lagi, pengawet
alami ini biasanya terbuat dari tanaman. Beberapa contoh dari pengawet alami
adalah tumbuhan beting, jangau, mengkudu (Morinda citrifolia), Engkerabai (Psychoteria sp), dan rengat (Marsdenia tinctoria). Dua spesies
sebagai pewarna makanan yaitu kunyit (Curcuma
domestica) dan pandan (Pandanus sp).
Sedangkan pewarna alami merupakan pemanfaatan tumbuhan yang di gunakan
oleh masyarakat sekitar sebagai pewarna dan digunakan secara turun temurun.
Sedangkan pewarna alami merupakan pemanfaatan tumbuhan yang digunakan untuk
memberikan warna pada suatu benda yang di gunakan secara turun temurun
contohnya seperti kunir, pandan, kulit buah naga dan lain.
Kata kunci : Etnobotanu,
Tumbuhan, Pengawet alami, Pewarna alami
I.
Pendahuluan
Etnobotani merupakan ilmu yang mempelajari mengenai penggunaan
tanaman di dalam budaya yang ada di suatu masyarakat. Menurut
Soekarman dan Riswan (1992) istilah etnobotani
sebenarnya sudah lama dikenal, etnobotani
sebagai ilmu mempelajari pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh suku-suku terkecil, saat ini menjadi perhatian banyak
pakar karena keberadaanya dan statusnya. Rifai
dan Waluyo (1992) mengemukakan bahwa etnobotani
adalah mendalami hubungan budaya manusia dengan alam nabati sekitarnya. Dalam hal ini diutamakan pada persepsi dan
konsepsi budaya kelompok masyarakat dalam mengatur sistem pengetahuan
tentang tumbuhan yang dimanfaatkan di dalam masyarakat tersebut.
Rempah-rempah adalah
bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bumbu di dapur, penguat cita rasa,
pengharum, dan pengawet makanan yang digunakan secara terbatas. Rempah adalah
tanaman atau bagian tanaman yang bersifat aromatik dan digunakan dalam makanan
dengan fungsi utama sebagai pemberi cita rasa. Pada berbagai rempah-rempah,
minyak atsiri yang dikandung bagian tumbuhan tertentu memberikan aroma yang
kuat pada cita rasa (Duke et al., 1993).
Dalam hal ini pengawet
alami merupakan pengawet yang terbuat dari tumbuhan yang mempertahankan keadaan
makanan, ataupun hewan menjadi berbentuk tetap sehingga dapat di konsumsi lebih
lama lagi, pengawet alami ini biasanya terbuat dari tanaman. Komponen pengawet
atau antimikroba adalah suatu komponen yang bersifat dapat menghambat
pertumbuhan bakteri atau kapang (bakteristatik atau fungistatik) atau membunuh
bakteri atau kapang (bakterisidal atau fungisidal). Zat aktif yang terkandung
dalam berbagai jenis ekstrak tumbuhan diketahui dapat menghambat beberapa
mikroba patogen maupun perusak makanan. Zat aktif tersebut dapat berasal dari
bagian tumbuhan seperti biji, buah, rimpang, batang, daun, dan umbi.
Sebagai contoh misalnya
biji picung mengandung senyawa antioksidan dan golongan flavonoid. Senyawa
antioksidan yang berfungsi sebagai antikanker dalam biji picung antara lain :
vitamin C, ion besi, dan B karoten. Sedangkan golongan flavonoid biji picung
yang memiliki aktivitas antibakteri yakni asam sianida, asam hidnokarpat, asam
khaulmograt, asam gorlat dan tanin. Khusus senyawa asam sianida dan tanin,
kedua senyawa inilah yang mampu memberikan efek pengawetan terhadap ikan.
Contoh lainnya adalah tanaman yang banyak dijumpai sebagai bumbu dapur dan obat
tradisional ini, ternyata memiliki potensi sebagai bahan pengawet alami yang
banyak memberikan keuntungan. Khususnya zat kimia yang terdapat dalam umbi
tanaman lengkuas (Lenguas galanga). Merupakan tanaman terna tahunan, berbatang
semu yang tumbuh tegak dengan tinggi1-3 meter (Oddy, 2009).
Sedangkan pewarna alami
adalah pemanfaatan tumbuhan yang di gunakan oleh masyarakat sekitar sebagai
pewarna dan digunakan secara turun temurun. Manusia selalu memanfaatkan
tumbuhan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhannya. Satu di antara pemanfaatan
tumbuhan untuk pemenuhan kebutuhan hidup seharihari adalah memanfaatkan
tumbuhan sebagai pewarna. Pemanfaatan bahan pewarna alami dari tumbuhan untuk
berbagai macam keperluan seperti mewarnai makanan, minuman, bahan kerajinan,
alat perang, dan kosmetik. Contoh dari tumbuhan yang di gunakan sebagai pewarna
alami adalah kunir, pandan, kulit buah naga dan lain-lain.
Mengenai hal tersebut
banyak sekali tanaman yang dapat digunakan sebagai pengawet alami dan pewarna
alami di masyarakat yang di gunakan turun temurun akan tetapi banyak sekali
tanaman yang belum di ketahui manfaatnya sebagai pengawet alami dan pewarna
buatan. Sehingga perlu di adakan penelitian etnobotani lebih lanjut mengenai
pengawet alami dan pewarna alami di beberapa daerah maupun etnis tertentu.
II.
Pembahasan
2.1
Pewarna Alami
Dikutip dari jurnal “Kajian Etnobotani Tumbuhan Yang
Digunakan Sebagai Pewarna Alami Oleh Suku Dayak Iban Di Desa Mensiau Kabupaten
Kapuas Hulu” tahun 2015 yang disusun oleh Santa, Mukarlina, dan Linda. Peneliti
ini mengungkapkan bahwa Suku Dayak merupakan penduduk asli Kalimantan, termasuk
Kalimantan Barat Yang keberadaanya paling besar yaitu 50,8% dibandingkan etnis
lainnya. Berdasarkan jurnal tersebut diketahui bahwa masyarakat suku Dayak
Banyak menempati daerah pedalaman, salah satunya pedalaman Kabupaten Kapuas
Hulu. Masyarakat Dayak banyak memanfaatkan tumbuhan dalam kehidupan
sehari-hari. Salah satu bentuk pemanfaatan tumbuhan dalam kehidupan masyarakat
adalah sebagai penghasil pewarna alami. Warna alami sudah lama dikenal jauh
sebelum ditemukannya pewarna sintetis yang banyak beredar saat ini. Masyarakat
Suku Dayak Iban Di Mensiau memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan pewarna alami
terutama pewarnaan benang yang akan digunakan untuk membuat tenunan pakaian
adat dan pewarna makanan. Informasi
jenis tumbuhan pewarna alami dan pemanfaatannya masih minim dan belum
terdokumentasi.
Tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat Dayak Iban terdapat
tujuh spesies yang digunakan sebagai pewarna benang dan makanan. Lima spesies
untuk mewarnai benang yaitu tumbuhan beting, jangau, mengkudu (Morinda citrifolia), Engkerabai (Psychoteria sp), dan rengat (Marsdenia tinctoria). Dua spesies
sebagai pewarna makanan yaitu kunyit (Curcuma
domestica) dan pandan (Pandanus sp).
Bagian tumbuhan pewarna alami seperti akar, kulit batang, daun dan rimpang yang
digunakan masyarakat Dayak Iban masih dilakukan proses pengolahan secara tradisional
untuk mendapatkan warna yang diinginkan. Masyarakat Dayak Iban sebagian besar
menggunakan pewarna alami untuk mewarnai benang yang akan dijadikan pakaian
adat telah digunakan turun temurun oleh masyarakat di Desa Mensiau. Selain
dijadikan pewarna benang dapat juga digunakan untuk mewarnai pakaian.
Masyarakat
Dayak Iban masih mengolah tumbuhan dengan cara tradisional yaitu direbus,
dijemur, dan diparut. Semua tumbuhan ini masih diolah dengan mengunakan proses
tradisional, yaitu diambil bagian akar, kulit batang, daun dan rimpang untuk
dilakukan penjemuran dan perebusan yang akan menghasilkan warna. Warna
alami yang didapatkan dari hasil penelitian di Desa Mensiau yaitu warna kuning,
coklat, dan merah. Warna kuning dihasilkan oleh tumbuhan beting, warna coklat
dihasilkan dari campuran akar tumbuhan mengkudu dan kulit batang tumbuhan
jangau, dan warna merah dihasilkan dari daun tumbuhan Engkerabai. Berdasarkan
hasil penelitian, warna kuning dihasilkan dari tumbuhan beting dan C.
domestica, warna merah dari tumbuhan Psychoteria, warna coklat dari
tumbuhan M. domestica dan jangau, warna hitam dari
tumbuhan M. tinctoria, dan warna hijau dari Pandanus sp.
Masyarakat Dayak Iban
menggunakan 7 jenis tumbuhan untuk mewarnai benang ataupun pakaian. Benang yang
diwarnai dengan pewarna alam dijadikan produk pakaian adat Dayak Iban. Suku
Dayak Iban juga menggunakan 2 jenis tumbuhan sebagai pewarna makanan yaitu
kunyit dan daun pandan. Bagian-bagian tumbuhan pewarna alami yang digunakan
oleh masyarakat Dayak Iban di Desa Mensiau sebagai pewarnaan alami yaitu akar
tumbuhan M. citrifolia, kulit batang tumbuhan Beting, kulit batang
tumbuhan Jangau daun dari tumbuhan Psychoteria sp., daun dari
tumbuhan M. tinctoria, daun dari tumbuhan Pandanus sp.,
dan rimpang dari C. domestica.
Masyarakat Dayak Iban
masih mengunakan cara tradisional dalam proses pengolahan tumbuhan pewarna
alami yaitu dengan cara mengambil bagian-bagian dari tumbuhan yang telah
ditentukan misalnya akar M. citrifolia dipotong kecil-kecil kemudian
dijemur sampai kering, selanjutnya direbus bersama kulit batang jangau yang
telah dibersihkan kemudian ditumbuk sampai halus. Kulit batang beting dipotong
kecil-kecil kemudian direbus bersama daun Klempait. Daun Klempait berfungsi
untuk memberikan aroma pada benang. Daun Psychoteria direbus sampai
layu, kemudian diberi kapur sirih secukupnya. Proses ini dilakukan untuk semua
tumbuhan pewarna alami yang akan digunakan sebagai kain tenunan. Proses
pengolahan dilakukan untuk mendapatkan warna yang baik. Tahap pengolahannya
yaitu perebusan, selanjutnya dilakukan perendaman benang pada air hasil rebusan
selama 1x24 jam. Semakin lama benang direndam semakin baik warna yang
dihasilkan dan tidak mudah pudar pada saat pencucian benang.
2.2
Pengawet Alami
Etnobotani adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari
tentang pengetahuan dan penggunaan tumbuhan oleh masyarakat lokal. Semakin
terbukanya gaya hidup modern dan tersedianya sumber-sumber alternatif lain
menyebabkan masyarakat lebih jarang menggunakan hasil tanamannya secara langsung.
Hal ini akan mengarah pada hilangnya pengetahuan etnobotani dalam masyarakat,
dibuktikan dengan semakin sedikitnya masyarakat yang layak dijadikan sebagai
informan saat dilakukan penelitian etnobotani. Oleh karena perlu upaya untuk
melestarikan pengetahuan etnobotani di masyarakat.
Salah satu bentuk kajian etnobotani yang ada salah
satunya yaitu tentang pemanfaatan tumbuhan alami yang ada disekitar lingkungan
masyarakat sebagai bahan pengawet alami. Pada jurnal kajian etnobotani yang
berjudul Desain Kurikulum Muatan Lokal
sebagai Upaya Konservasi Pengetahuan Etnobotani Suku Osing di Kabupaten
Banyuwangi oleh Muhammad Sulthon, Iis Nur Asyiah, Sulifah Aprilya H.
Pada penelitian tersebut mengangkat topik tentang berbagai kajian etnobotani
pada masyarakat Osing Banyuwangi salah satunya tentang pengawet alami dari
tumbuhan.
Dari hasil penelitian etnobotani pengawet alami oleh
masyarakat Using telah terinventarisasi 8 spesies tumbuhan yang digunakan
sebagai bahan pengawet alami. Dari 8 spesies tumbuhan hasil wawancara, terdapat
4 spesies tumbuhan yang memiliki nilai UV tinggi yaitu pisang (Musa
paradisiaca) dengan nilai UV 0,63, kecandik (tidak teridentifikasi), pinang
(Areca catechu L.) dengan nilai UV 0,21, dan kemiri (Aleurites
moluccana) dengan nilai UV 0,13. Daun pisang, daun pinang, daun kecandik,
dan daun kemiri digunakan untuk pengawet makanan dengan cara membungkus makanan
yang akan diawetkan secara langsung menggunakan daun kemudian dikukus atau buah
dari tumbuhan diperas langsung ke dalam makanan.
III.
Penutup
3.1 Kesimpulan
Masyarakat Suku Dayak Iban Di Desa Mensiau Kabupaten Kapuas Hulu masih
menggunakan pewarna alami secara turun temurun. Di temukan berbagai macam
tumbuhan yang di gunakan sebagai pewarna alami di desa mensiau kabupaten kapuas
hulu yaitu lima spesies untuk mewarnai benang yaitu tumbuhan beting, jangau,
mengkudu (Morinda citrifolia),
Engkerabai (Psychoteria sp), dan
rengat (Marsdenia tinctoria). Dua
spesies sebagai pewarna makanan yaitu kunyit (Curcuma domestica) dan pandan (Pandanus
sp).
Sedangkan pengawet alami yang
ditemukan di kabupaten bayuwangi utamanya adalah masyarakat suku osing yang di
gunakan secara turun temurun oleh warga masyarakat tersebut. Banyak sekali
tumbuhan yang di gunakan sebagai pengawet alami oleh masyarakat osing yaitu 4
spesies tumbuhan yang memiliki nilai UV tinggi yaitu pisang (Musa
paradisiaca) dengan nilai UV 0,63, kecandik (tidak teridentifikasi), pinang
(Areca catechu L.) dengan nilai UV 0,21, dan kemiri (Aleurites
moluccana) dengan nilai UV 0,13.
Daftar Pustaka
Duke. 1993. Elder’s Practice of Refraction 10th Edition. Edinburgh: Churchill
Livingstone
Rifai,
M.A. & E.B. Waluyo. 1992. Etnobotani dan Pengembangan Tetumbuhan Pewarna
Indonesia: Ulasan Suatu Pengamatan di Madura. Jurnal Semiloknas Etnobotani. Vol
3 (1): Hal 119-126.
Riswan, S. & Soekarman, 1992. Status
Pengetahuan Etnobotani di Indonesia. Prosiding Seminar Etnobotani.
Santa dkk.
2015. Kajian Etnobotani Tumbuhan Yang Digunakan Sebagai Pewarna Alami Oleh Suku
Dayak Iban Di Desa Mensiau Kabupaten Kapuas Hulu. Jurnal Protobiont Vol 4 (1).
Sulthon,
Muhammad, Asyiah, Iis Nur, Aprilya, Sulifah H. Desain Kurikulum Muatan Lokal sebagai Upaya Konservasi Pengetahuan
Etnobotani Suku Osing di Kabupaten Banyuwangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar