Selasa, 14 Juni 2016

# fisiologi hewan

Jurnal Fisiologi Hewan AKTIVITAS OPERCULUM IKAN MAS (Ciprinus carpio) PADA PERGANTIAN SUHU AIR SEBAGAI INDIKATOR OKSIGEN TERLARUT DI DALAM AIR



AKTIVITAS OPERCULUM IKAN MAS (Ciprinus carpio) PADA PERGANTIAN SUHU AIR SEBAGAI INDIKATOR OKSIGEN TERLARUT DI DALAM AIR

Rose Lolita
Mahasiswa Pendidikan Fisiologi Hewan Kelas C
Program Studi Pendidikan Biologi
Universitas Jember


Abstrak
Pada penelitian kali ini kami ingin mengetahui pengaruh perubahan suhu air pada ikan mas (Ciprinus carpio) terhadap oksigen yang terkandung di dalam air. Pada penelitian kali ini kami menggunakan thermometer untuk mengatur  kenaikan dan penurunan suhu, kemudian timbangan untuk menimbang berat dari ikan mas dan bak mandi untuk menampung air. Air tersebut di berikan perlakuan kenaikan suhu  dengan menambahkan air panas atau penurunan suhu dengan penambahan es batu, akan tetapi air yang berada di dalam bak tidak boleh berkurang ataupun berlebih, air tetap dalam keadaan konstan. Lalu menghitung tertutup terbukanya operculum setiap menit dengan menggunakan counter sehingga perhitungan lebih valid. Kemudian menunggu hingga ikan mas colaps atau meninggal baru mencatat suhu air yang terakhir. Cepat atau tidaknya terbuka dan menutupnya operculum adalah sebagai indikator oksigen terlarut yang berada di dalam air. Ketika suhu terlalu tinggi maka kadar oksigen yang terlarut di dalam air semakin rendah sehingga gerak opperculum semakin cepat karena ikan membutuhkan banyak sekali oksigen di dalam tubuhnya. Begitu pula pada penurunan suhu, penurunan suhu yang terlalu ekstrem mengakibatkan kadar oksigen terlarut di dalam air semakin tinggi sehingga pergerakan opperculum semakin lambat dikarenakan semakin dingin suhu darah tingkat viskositas darah akan mengental dan mengakibatkan aliran darah yang lebih lambat. Penurunan suhu berdampak pada penurunan konsumsi oksigen sehingga pergerakan opperculum menjadi lambat

Kata kunci : Suhu, Opperculum



Pendahuluan
Proses respirasi ikan menggunakan pertukaran lawan arus (countercurent exchange), pertukaran zat-zat atau panas diantara dua cairan yang mengalir ke arah yang berlawanan. Pada insang ikan, proses ini memaksimalkan efisiensi pertukaran gas. Karena darah mengalir ke arah yang berlawanan dengan air yang melewati insang, pada setiap titik dalam jalur yang di lewati, darah mengandung lebih sedikit Oksigen daripada air yang di jumpainya. Sewaktu memasuki kapiler insang darah bertemu dengan air yag sedang menempuh perjalanan melalui insang. Meskipun banyak Oksigen terlarutnya sudah hilang, air ini tetap memiliki PO2 yang lebih tinggi daripada darah yang datang, dan transfer Oksigen pun berlangsung. Sewaktu darah meneruskan perjalanannya, PO2 nya terus meningkat begitu pula dengan PO2 air yang di temuinya, karena setiap posisi yang mengikuti perjalanan darah terkait dengan posisi sebelumnya di dalam aliran ir di dalam insang. Dengan demikian terdapat gradien tekanan parsial yang mendukung difusi oksigen dari air ke darah di sepanjang kapiler (Campbell, 2004: 76).
            Suhu tubuh hewan poikilotermik ditentukan oleh keseimbangannya dengan kondisi suhu lingkungan, dan berubah-ubah seperti berubah-ubahnya kondisi suhu lingkungan. Pada hewan poikilotermik air, misalnya kerang, udang dan ikan, suhu tubuhnya sangan ditentukan oleh keseimbangan konduktif dan konvektif dengan air mediumnya, dan suhu tubuhnya mirip dengan suhu air. Hewan memprodukdi panas internak secara metabolik, dan ini mungkin meningkatkan suhu tubuh di atas suhu air. Namun air menyerap panas begitu efektif dan hewan poikilotermik tidak memiliki insulasi sehingga perbedaan suhu hewan dengan air sangat kecil (Soewolo, 2000:331).
            Respirasi eksternal sangat dipengaruhi oleh kadar oksigen  didalam lingkunga organisme yang bersangkutan. Untuk lingkungan air, kadar oksigen dipengaruhi oleh kelarutan oksigen dalam air. Kelarutan oksigen dalam cairan secara umum dipengaruhi oleh:
1.      Tekanan parsial oksigen (O2) di atas permukaan cairan. Makin tinggi tekanan O2 di atas permukaan cairan, makin tinggi pada kelarutan oksigen di dalam cairan.
2.      Suhu cairan atau medium. Makin tinggi suhu cairan atau medium, makin rendah kelarutan oksigen dalam cairan atau medium.
3.      Kadar garam di dalam cairan. Makin tinggi kadar garam, makin rendah kelarutan oksigen di dalam cairan (Tim Dosen Fisiologi Hewan, 2015:12).
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2005).
Kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik. Keperluan organisme terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat menggunakan oksigen dari udara bebas, memiliki daya tahan yang lebih terhadap perairan yang kekurangan oksigen terlarut (Salmin,2005).
Menurut Wulangi (1993) jumlah O2 yang di butuhkan dan di konsumsi oleh hewan tergantung dari jenis dan ukuran hewan serta tingkat aktivitas hewan. Pada umumnya hewan dengan ukuran kecil mempunyai tingkat metabolisme per berat badan yang lebih tinggi di bandingkan dengan hewan besar, dan karena itu hewan kecil membutuhkan lebih banyak O2 dibandingkan dengan hewan besar. Difusi O2 di dalam air lebih lambat di bandingkan dengan difusi O2 dalam udara. Jumlah O2 yang larut dalam air bervariasi menurut suhu dan kadar garam dalam air. Semakin tinggi suhu, jumlah O2 yang tersedia di dalam air akan berkurang.
Peningkatan suhu perairan mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi. Selain itu peningkatan suhu juga mengakibatkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10°C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20-30°C (Effendi, 2003)
Suhu yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25 – 32oC. Secara tidak langsung pengaruh temperatur menjalar melalui kemampuan kontrolnya terhadap kelarutan gas-gas dalam air, termasuk oksigen. Dalam hal ini semakin tinggi temperatur akan semakin kecil kelarutan oksigen dalam air, sementara itu kebutuhan oksigen bagi biota akan semakin besar karena adanya peningkatan metabolisme ikan (Riyadi, 2006).
Konsentrasi oksigen terlarut tergantung pada faktor fisika dan biologi. Beberapa faktor fisika yang mempengaruhi konsentrasi atau kelarutan oksigen terlarut dalam air antara lain suhu, salinitas, dan tekanan atmosfer. Konsentrasi oksigen terlarut juga dipengaruhi oleh faktor biologis seperti kepadatan organisme perairan, karena semakin padat organisme perairan maka laju respirasi juga akan semakin meningkat. Adanya peningkatan respirasi tersebut akan menyebabkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air , dimana penurunan konsentrasi oksigen terlarut hingga batas titik kritis akan menyebabkan hypoxia Mubarak .
            Ada beberapa fungsi  pernafasan, fungsi berlaku pada seluruh mahluk hidup yang bertulang belakang. Urutan dua teratas merupakan fungsi utama, selanjutnya merupakan sekunder dari sistem pernafasan yaitu, menyediakan oksigen untuk darah, mengambil karbon dioksida dari dalam darah, membantu dalam mengatur keseimbangan dan regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, membantu pengendalian suhu elliminasi air, fonasi (pembentukan suara) (Yulia, 2013).


Metodologi Penelitian

            Penelitian yang kami lakukan kali ini bertujuan untuk mengetahui penyesuaian hewan poikilotermik terhadap oksigen yang terkandung di dalam air karena pengaruh suhu air, dan juga karena pengaruh kadar garam dalam air. Alat yang di gunakan pada praktikum kali ini adalah bak plastik, beaker glass, heater, thermos, thermometer dan stopwatch. Kemudian bahan di gunakan adalah ikan mas (Ciprinus carpio), air panas, air dingin dan air netral.
            Pertama yang di lakukan adalah menimbang terlebih dahulu ikan mas, kemudian mengisi bak plastik menggunakan air lalu di tandai airnya. Kemudian lakukan 2 perlakuan 3 menit sekali di isi dengan air panas atau pun air es, akan tetapi volume air jangan sampai berubah jadi kita mengurangi air lalu menambah air agar volume air tidak berubah. Jika air panas yang di tambahkan temperaturnya di naikkan 3  kemudian di tunggu 1 menit, lalu selama 1 menit menghitung respirasi ikan dengan menghitung penutupan opperculum ikan dengan menggunakan alat counter dengan cara di pencet-pencet sehingga kita dapat tahu sirip ikan melakukan penutupan brapa kali ketika di berikan perlakuan. Begitu juga pada suhu es atau suhu dingin akan tetapi di kurangi 3  suhunya. Hingga ikan kolaps dengan ciri-ciri mulai membalikkan tubuhnya atau miring-miring


Hasil dan pembahasan


           

Respirasi pertukaran gas adalah pertukaran oksigen dan karbondioksida antara sel-sel yang aktif dengan lingkungan luarnya atau antara cairan tubuh hewan dengan lingkungan tempat hidupnya. Definisi respirasi juga meliputi proses biokimia yang berlangsung di dalam sel berupa perombakan molekul-molekul makanan dan transfer energi yang dihasilkan (respirasi seluler). Proses respirasi erat kaitannya dengan laju metabolisme (metabolit rate) yang didefinisikan sebagai unit energi yang dilepaskan per unit waktu. Laju respirasi pada hewan tergantung pada aktivitas metabolisme total dari organisme tersebut. Fungsi utama respirasi adalah dalam rangka memproduksi energi melalui metabolisme aerobik dan hal tersebut terkait dengan konsumsi oksigen (Santoso, 2009).
Pergantian suhu air mengakibatkan oksigen yang terlarut di dalam air menjadi berkurang jika suhu di berikan semakin tinggi atau rendah, maka akan mengakibatkan oppercullum semakin bergerak cepat dikarenakan oksigen terlarut semakin rendah sehingga ikan harus berusaha keras untuk mendapatkan oksigen berada di dalam air tersebut, disini ikan akan semakin membutuhkan oksigen ketika oksigen terlarut turun. Menurut Salmin (2005) kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi.

                        Pada penelitian kali ini di dapatkan hasil sebagai berikut:
Kel
Perlakuan
Berat (gr)
Suhu
Colaps
Gerakan Opercullum Interval 1 Menit
Rata-rata
1
2
3
4
5
6
7
8
Normal
1
Air dingin
11 gr
7
25 /110
22 /93
19 /82
16 /74
13 /31
10 /5
-
-
28 /120
510,8
2
Air dingin
13 gr
7
28 /141
25 /135
22 /126
19 /120
16 /67
13 /
7 /1
-
28 /141
109,3
3
Air panas
14,5 gr
44
32 /163
35 /153
38 /161
41 /198
44 /201
-
-
-
29 /157
171,5
4
Air panas
15,5 gr
44
32 /163
35 /206
38 /200
41 /215
44 /mati
-
-
-
29 /181
193
5
Air panas
14,5 gr
44
32 97
35 /91
38 /74
41 /75
44 /43
-
-
-
29 /181
82,16

           

Pada kelompok 1 yang menggunakan air dingin sebagai perlakuan terhadap ikan mas di dapatkan hasil laju respirasi awal pada menit pertama 110 kali penutupan opperculum, menit kedua 93, menit ketiga 82, menit keempat 74, menit kelima 31 dan menit keenam 5, kemudian pada menit selanjutnya ikan tersebut meninggal pada suhu 7  dengan interval suhu turun 3  dengan suhu awal 20 . Berdasarkan pengamatan tersebut di dapatkan bahwa semakin suhu turun mengakibatkan pergerakan opperculum semakin lambat, hal ini terjadi dikarenaka semakin rendah suhu konsentrasi oksigen yang terlarut di dalam air semakin tinggi sehingga laju respirasi yang terjadi semakin lambat karena penurunan konsumsi oksigen dan di karenakan juga karena tingkat viskositas darah akan mengental dan mengakibatkan aliran darah yang lebih lambat.
            Hal tersebut sesuai dengan teori Wijayanti (2011) mekanisme pengaruh suhu media secara fisik berpengaruh pada tingkat kelarutan oksigen di dalam air, semakin dingin suhu air, konsentrasi oksigen terlarut akan semakin tinggi. Suhu media yang dingin secara langsung akan mempengaruhi suhu badan ikan dan suhu darah, semakin dingin suhu darah tingkat viskositas darah akan mengental dan mengakibatkan aliran darah yang lebih lambat. Penurunan suhu berdampak pada penurunan konsumsi oksigen dan menurunnya produk metabolism yang dapat bersifat racun baik dalam bentuk gas CO2 maupun ammonia dalam bentuk NH3.
            Begitu pula pada kelompok 2 yang menggunakan air dingin sebagai perlakuan terhadap ikan mas tersebut, di dapatkan hasil pada menit pertama terjadi pergerakan oppercullum 141, dan menit kedua 135, menit ketiga 126, menit keempat 120, menit kelima 67 dan menit keenam 30 dan pada menit ketujuh 1 pergerakan opperculum, dan kemudian meninggal pada suhu 7  dengan interval suhu turun 3  dengan suhu awal 20 . Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin rendah suhu maka pergerakan opperculum semakin lambat menandakan bahwa oksigen yang terlarut di dalam air semakin meningkat. Hal tersebut sesuai dengan teori di sebelumnya bahwa semakin dingin suhu air, konsentrasi oksigen terlarut di dalam air akan semakin tinggi. Semakin dingin suhu darah tingkat viskositas darah akan mengental dan mengakibatkan aliran darah lebih lambat.
            Kemudian pada kelompok 3 menggunakan air panas sebagai perlakuan terhadap ikan mas, di dapatkan hasil pada menit pertama pergerakan opperculum 163, pada menit kedua 153, menit ketiga 161, menit keempat 198, menit kelima 201 dan menit keenam dengan suhu 44  ikan tersebut meninggal dengan interval suhu naik 3  dengan suhu awal 29 . Dalam hal ini dapat kita ketahui bahwa semakin tinggi suhu maka konsentrasi oksigen terlarut yang ada di dalam air tersebut semakin sedikit sehingga ikan akan mempercepat laju respirasinya dengan cara mempercepat pergerakan opperculum untuk meningkatkan pengambilan oksigen yang terlarut di dalam air dan untuk memenuhi kebutuhan respirasinya yang sangat banyak.
Hal tersebut sesuai dengan teori Effendi (2003) mekanisme peningkatan suhu perairan mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi. Selain itu peningkatan suhu juga mengakibatkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10°C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Sehingga ikan akan meningkatkan pengambilan oksigen di dalam air dengan cara mempercepat pergerakan opperculum.
Kemudian pada kelompok 4 di dapatkan hasil pada menit pertama pergerakan opperculum 163, kemudian menit kedua 206, menit ketiga 200, menit keempat 215 dan pada suhu 44°C ikan colaps atau mati dengan interval suhu naik 3  setiap menit dengan suhu awal 29 . Dalam hal tersebut kita dapat mengetahui bahwa semakin tinggi suhu maka oksigen yang terlarut di dalam air semakin menurun atau sedikit sehingga mengakibatkan ikan harus memenuhi kebutuhan oksigen di dalam tubuhnya untuk dapat bertahan hidup, ikan akan melakukan adaptasi fisiologi dengan cara mempercepat pergerakan opperculum untuk mengambil oksigen terlarut yang ada di dalam air. Hal tersebut sesuai dengan teori yang sudah di sebutkan sebelumnya.
Pada kelompok 5 yang menggunakan air panas sebagai perlakuan terhadap ikan mas di dapatkan hasil, pada menit pertama pergerakan opperculum 97, menit kedua 91, menit ketiga 74, menit keempat 75, dan menit kelima pergerakan opperculum 43 lalu pada suhu 44  ikan mati dengan interval suhu naik 3  setiap menit dengan suhu awal 29 . Hasil yang di dapat terjadi penuruan pergerakan opperculum pada suhu yang semakin tinggi. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori yang ada di atas, seharusnya di dapatkan hasil semakin tinggi suhu maka semakin cepat pula pergerakan opperculum karena oksigen yang terlarut di dalam air semakin rendah ketika dalam suhu tinggi, pergerakan opperculum semakin cepat di karenakan ikan akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan respirasi di dalam tubuhnya harus mengambil oksigen yang banyak karena oksigen terlarut sedikit maka ikan mempercepat pergerakan opperculumnya. Hal tersebut dapat terjadi di karenakan kesalahan praktikan saat menghitung menggunakan alat penghitung oppercullum.
Fungsi di timbang adalah untuk mengetahui pengaruh berat ikan berpengaruh terhadap laju respirasi yang terjadi. Dimana semakin besar ukuran ikan maka semakin banyak oksigen yang di butuhkan oleh tubuh tersebut. Karena pada tubuh yang besar maka metabolisme yang harus di lakukan pun semakin besar, dan ketika laju metabolisme semakin besar yang di butuhkan maka ikan juga membutuh kan oksigen yang banyak untuk melakukan proses respirasi. Begitupun sebaliknya jika ukuran ikan semakin kecil maka proses respirasi semakin kecil dan oksigen yang di butuhkan pun semakin sedikit.
Fungsi alat dan bahan yang di gunakan seperti bak plastik yang di gunakan adalah sebagai tempat ikan dan air di letakkan, bak plastik transparan sehingga mudah saat melakukan pengamatan ikan mas. Pada penambahan air panas maupun air es, volume air yang ada di bak air haruslah konstan. Perlakuan ini di lakukan dengan cara mengambil air terlebih dulu lalu menambahkan air panas atau pun air es hingga mencapai ukuran yang sudah di buat di awal hingga suhu berubah. Dalam hal ini volume air di pertahankan untuk mempertahankan oksigen yang terlarut dalam tetap konstant dan tidak berubah, sehingga dalam prenelitian ini suhu menjadi tujuan utama yang membuat kenaikan atau pun penurunan oksigen terlarut tanpad di pengaruhi oleh faktor lainnya.
            Proses respirasi internal (inspirasi) merupakan proses pengambilan Oksigen yang terlarut di dalam air pada ikan, ikan ini melakukan pertukaran gas lawan arus, ketika insang terbuka air yang membawa Oksigen akan masuk ke dalam insang, di dalam insang tersebut bertemu dengan kapiler darah, darah yang mengalir melalui kapiler di dalam lamela mengambil Oksigen dari air. Pada pertukaran aliran lawan arus dari air dan darah mempertahankan gradien tekanan parsial tetap rendah sehingga Oksigen berdifusi dari air ke dalam darah di sepanjang kapiler. Dan darah yang mengandung kaya akan Oksigen, akan mengalirkan ke seluruh tubuh ikan melalui arteri.
            Begitu juga pada proses respirasi eksternal (ekspirasi) yang merupakan proses pengeluaran Karbon dioksida yang ada di dalam tubuh ikan tersebut, sehingga tubuh tidak lagi mengandung Karbon dioksida yang jika terlalu lama di dalam tubuh akan mengakibatkan ikan tersebut keracunan, karena sifat Karbon dioksida ini sebagai racun atau sampah yang harus di keluarkan dari dalam tubuh ikan. Proses ekspirasi berlangsung bersamaan dengan proses inspirasi, ketika oksigen sudah berdifusi dengan kapiler darah, Karbon dioksida berdifusi dengan air yang ada di dalam insang sehingga nantinya Karbon dioksida ini akan berada di dalam air. Setelah terjadi difusi karbon dioksida dari kapiler darah ke air, air akan dikeluarkan ke luar dengan menutup opperculum dari ikan ini, sehingga Karbon dioksida di keluarkan melalui insang tersebut. Begitu seterusnya ketika inspirasi opperculum membuka dan ketika ekspirasi opperculum menutup.
Hal tersebut sesuai dengan teori Campbell (2004: 76) proses respirasi ikan menggunakan pertukaran lawan arus (countercurent exchange), pertukaran zat-zat atau panas diantara dua cairan yang mengalir ke arah yang berlawanan. Pada insang ikan, proses ini memaksimalkan efisiensi pertukaran gas. Karena darah mengalir ke arah yang berlawanan dengan air yang melewati insang, pada setiap titik dalam jalur yang di lewati, darah mengandung lebih sedikit Oksigen daripada air yang di jumpainya. Sewaktu memasuki kapiler insang darah bertemu dengan air yag sedang menempuh perjalanan melalui insang. Meskipun banyak Oksigen terlarutnya sudah hilang, air ini tetap memiliki PO2 yang lebih tinggi daripada darah yang datang, dan transfer Oksigen pun berlangsung. Sewaktu darah meneruskan perjalanannya, PO2 nya terus meningkat begitu pula dengan PO2 air yang di temuinya, karena setiap posisi yang mengikuti perjalanan darah terkait dengan posisi sebelumnya di dalam aliran ir di dalam insang. Dengan demikian terdapat gradien tekanan parsial yang mendukung difusi oksigen dari air ke darah di sepanjang kapiler.
Suhu air normal ikan rata-rata berdasarkan penelitian yang dilakukan adalah 28  tidak lebih dari itu dan suhu colaps ikan ketika suhu tinggi 44  dan suhu paling rendah adalah 7 . Hal tersebut sesuai dengan teori Narantaka (2012) suhu air yang ideal untuk tempat hidup ikan mas adalah terletak pada kisaran antara 25 – 30 , dan pertumbuhan akan menurun apabila suhu rendah di bawah 13  . Pertumbuhan akan menurun dengan cepat dan akan berhenti makan
pada suhu di bawah 5 .


Kesimpulan

            Penelitian yang kami lakukan kali ini mengenai aktivitas opperculum pada pergantian suhu air sebagai indikator oksigen terlarut di dalam air. Kami dapat mengetahui bahwa semakin tinggi suhu air maka pergerakan opperculum ikan di dalam air semakin cepat di karenakan oksigen yang terlarut di dalam air semakin sedikit sehingga ikan mempercepat pergerakan opperculum untuk mengambil oksigen yang terlarut di dalam air. Sedangkan semakin rendah suhu maka pergerakan opperculum semakin lambat dikarenakan konsentrasi oksigen yang terlarut di dalam air semakin tinggi dan mengakibatkan laju respirasi yang terjadi semakin lambat karena penurunan konsumsi oksigen dan di karenakan juga karena tingkat viskositas darah akan mengental dan mengakibatkan aliran darah yang lebih lambat.



Daftar Pustaka
Campbell, Neil A., Jane B. Reece dan Lawrence G. Mitchell. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3.Jakarta: Penerbit Erlangga
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Cetakan Kelima. Yogjakarta : Kanisius Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
Riyadi, Agung. 2006. Kajian Kualitas Air Waduk Tirta Shinta Di Kota Bumi Lampung. Jurnal Hidrosfir. Vol 1: 75-82
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Jurnal Oseana. Vol 30: Halaman 21-26
Santoso, Putra. 2009. Bahan Ajar Fisiologi Hewan. Padang: Universtas Andalas
Tim Dosen Fisiologi Hewan. 2015. Buku Petunjuk Praktikum Fisiologi Tumbuhan. Jember: Universitas Jember Press
Wijayanti, Ima. 2011. Pengaruh Temperatur Terhadap Kondisi Anastesi Bawal Tawar Colossoma macropomum dan Lobster Tawar Cherax quadricarinatus. Jurnal Penelitian. Vol 1: Halaman 1-15
Wulangi, S, Kartolo. 1993. Prinsip-prinsip Fisologi Hewan. Bandung: ITB Press

Yulia, Ratna. 2013. Sistem Pernafasan Pada Manusia. Jurnal Pendidikan. Vol 1: Halaman 1-10
Narantaka, A.M.M. 2012. Pembenihan Ikan Mas. Jogjakarta: Javalitera








                                                   
















LAMPIRAN

                  
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
 


Kelompok 5
Kelompok 4
             




 
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates