PRAKTIKUM
KULTUR JARINGAN TUMBUHAN
Acara III
(Sub Kultur)
Oleh
:
Kelompok 4/ Shift 1
Marisanti (110210103003)
Titan
Satria Ananda (120210103014)
Ayuni
Dwi Anggraeni (120210103024)
Rose
Lolita (120210103027)
Siti
Nailatul Farkhah (120210103035)
Novi Cahya
Christanty (120210103037)
Ida
Rusminingsih (130210103041)
Heni Lusiana (130210103044)
Nina
Asmayah (130210103047)
Anisya’
Miftahul Khusna (130210103091)
Jurusan Pendidikan Biologi FKIP Unej
LABORATORIUM KULTUR JARINGAN TUMBUHAN
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
BAB
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kultur jaringan tanaman sebagai salah satu aplikasi dari bioteknologi
tanaman merupakan budidaya tanman yang dikerjakan secara in vitro. Kultur
jaringan yang dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture didefinisikan sebagai suatu teknik
menumbuhkembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam
kondisi aseptik secara invitro, yang dicirikan oleh kondisi kultur yang
aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kondisi nutrisi lengkap dan ZPT
serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol.
Kultur jaringan tanaman akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat
yang dibutuhkan dapat terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi: pemilihan
eksplan/ bahan tanam, penggunaan media sesuai, keadaan yang aseptik dan pengaturan lingkungan tempat tumbuh
yang sesuai. Pemilihan eksplan perlu mendapat perhatian karena itulah yang
nanti akan menentukan kualitas bibit yang akan dihasilkan. Paling baik apabila
eksplan berasal dari jaringan yang masih muda karena sel-selnya masih aktif
membelah.
Berdasarkan bagian tanaman yang dikulturkan
secara lebih spesifik terdapat tipe-tipekultur yaitu, kultur kalus, kultur
suspensi sel, kultur anter, kultur akar, kultur pucuk tunas,kultur embrio,
kultur ovul, dan kultur kuncup bunga. Prinsip utama dari teknik
kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman dengan menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat
yang steril.
Inisiasi pembentukan kalus merupakan salah satu
langkah penting yang menentukan keberhasilan teknik kultur in vitro. Kalus
merupakan massa sel yang tidak terorganisir, padamulanya sebagai respon
terhadap pelapukan (wounding). Pembelahan selnya menjadi tidak terkendali,
sel-selnya mengalami proliferasi yaitu membelah terus menerus dengan sangat
cepat, hal ini dimungkinkan karena sel-sel tumbuhan yang secara alamiahnya
bersifat autotrof dikondisikan menjadi heterotrof oleh adanya nutrisi
yang cukup komplek dan zat pengatur tumbuh di dalam medium kultur. Selain dari
luka bekas irisan, kalus juga dapat berasal dari pembelahan sel-sel
kambium yang terus membelah dan berpoliferasi. Poliferasi sel-sel akan menjadi lebih baik jika
eksplan yang digunakan berasal dari jaringan yang masih muda.
Sel-sel kalus secara fisiologis dan biokimia sangat berbeda dengan sel-sel eksplannya yang sudah
terdiferensiasi. Sel-sel pada kalus bersifat meristematik dan merupakan salah
satu wujud dari dediferensiasi. Dediferensiasi merupakan reversi darisel-sel
hidup yang telah terdiferensiasi menjadi tidak terdiferensiasi, atau dengan
kata lainmenjadi meristematik kembali. Dediferensiasi merupakan langkah awal
bagi perbanyakanvegetatif dengan teknik kultur in vitro karena merupakan dasar
terjadinya primerdia tunas danakar.Kalus dapat diperbanyak secara tidak
terbatas dengan cara memindahkan sebagian kecilkalus kedalam medium baru (sub
kultur). Kalus dengan sel-selnya yang bersifat meristematik, dapat
didispersikan di dalam medium cair sehingga dapat diperoleh kultur suspensi sel. Teknik kultur jaringan melalui
kultur kalus merupakan salah satu metode untuk budidaya tanaman untuk mendapatkan metabolit sekunder dalam waktu yang
relatif singkat.
1.2 Tujuan
Mengetahui pertumbuhan kultur baru setelah
dilakukan subkultur dengan media yang berbeda
BAB
II. TINJAUAN PUSTAKA
Gunawan (dalam Husain, 2012)
menyatakan kultur jaringan yaitu salah satu teknik perbanyakan alternatif pada
tanaman. Prinsip kultur jaringan ialah mengisolasi eksplan yaitu sel atau
jaringan tanaman yang diambil dari bagian tanaman, misalnya protoplasma, sel
atau sekelompok sel, kemudian distimulasi untuk membentuk tanaman secara utuh
menggunakan media dan lingkungan tumbuh yang sesuai. Kultur jaringan ialah membudidayakan
suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil dengan sifat seperti induknya .
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk memperoleh tanaman dalam jumlah
besar dalam waktu yang relatif singkat serta bebas penyakit. Multiplikasi
tanaman yang tinggi dapat dihasilkan dari tanaman yang ditumbuhkan secara in. Perbanyakan tanaman dengan kultur
jaringan bertujuan untuk memperoleh bahan tanaman steril yang digunakan
untuk perbanyakan benih (Aisyah, 2011).
Teknik kultur jaringan didasarkan atas
teori sel yang menerangkan bahwa setiap sel tanaman merupakan unit bebas yang
mampu membentuk organisme baru dengan sempurna melalui sifat totipotensi yang
dimilikinya (Sastrowijoyo dalam Husain, 2012). Manfaat dari metode kultur
jaringan ialah menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak, dengan sifat seragam
dan dalam waktu singkat. Disamping itu teknik kultur jaringan dapat
memproduksi bibit dalam jumlah besar dengan waktu yang relatif singkat, bebas
patogen, identik dengan induknya dan tidak dipengaruhi musim.
Bibit yang dihasilkan dari kultur
jaringan mempunyai beberapa keunggulan yaitu memiliki sifat yang identik dengan
induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar, sehingga tidak terlalu
membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar
dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit terjamin dan kecepatan
tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional. Metode
kultur jaringan dikembangkan untuk dikembangkan untuk membantu memperbanyak
tanaman, khususnya tanaman yang sulit dikembangkan secara generatif. Kultur
organ yaitu kultur yang diinisiasi dari organ organ tanaman seperti pucuk
terminal dan aksilar, meristem, daun, batang, ujung akar, bunga, buah muda,
embrio dan lain sebagainya.
Sel-sel
akan terus membelah, yang mana jika pembelahannya terkendali maka akan
membentuk massa sel yang tidak terorganisasi yang disebut kalus. Pembelahan sel
yang tidak terkendali itu disebabkan oleh sel-sel tumbuhan, yang secara normal
bersifat autotroph, dikondisikan menjadi heterotroph dengan memberikan nutrisi
yang kompleks di dalam media kultur jaringan. Laju pertumbuhan sel, jaringan
dan organ tanaman di dalam kultur akan menurun setelah periode tertentu, yang
terlihat dengan terjadinya kematian sel atau nekrosis pada eksplan yang
disebabkan menyusutnya kadar nutrient pada media dan senyawa racun yang
terbentuk dan dilepaskan oleh eksplan di sekitar media. Bila gejala demikian
muncul maka harus segera dilakukan pemindahan sel, jaringan atau organ ke dalam
media baru, proses ini disebut dengan sub kultur (Yuliarti, 2010).
Sub kultur merupakan salah satu tahap dalam
perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. Prinsip dasarnya sub kultur ialah
memotong, membelah dan menanam kembali eksplan yang telah tumbuh sehingga
jumlah tanaman akan bertambah banyak (Hendrayono, 1994). Sub kultur adalah memindahkan eksplan ke media multiplikasi dengan tujuan perbanyakan atau pengakaran suatu eksplan. Sub kultur dilakukan jika eksplan pada medium
kultur mengalami browing sebagai indikasi dari kematian sel dan ketidakpratisan
fungsi media (Yann dkk., 2012). Eklspan yang baru saja ditanam dan diinkubasikan dalam
ruangan incubator akan menghasilkan kalus. Bila kalus sudah cukup umur maka
dapat dilakukan sub kultur. Kalus yang terlambat disub-kulurkan tidak dapat
berkembang dengan baik.
Subkultur adalah usaha untuk mengganti media tanam
kultur jaringan dengan media yang baru,
sehingga kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kalus atau
protokormus dapat terpenuhi. Sub kultur dilakukan atas dasar suspensi atau kandungan
nutrisi dalam media tidak mencukupi untuk pertumbuhan planlet, baik dipengaruhi
oleh hilangnya nutrisi yang menyebabkan perlunya penambahan nutrisi dalam
medium dan hilangnya karbohidrat yang kesemuanya dibutuhkan dalam proses
metabolisme (Boisson dkk., 2012).
Kegiatan sub kultur disesuai dengan jenis tanaman
yang dikulturkan. Setiap tanaman memiliki karakteristik dan kecepatan tumbuh
yang berbeda-beda yang menyebabkan cara dan waktu sub kultur juga berbeda-beda.
Secara garis besar teknik sub kultur dibagi menjadi 4 yaitu:
1. Teknik
sub kultur untuk tanaman yang harus segera atau cepat di sub kultur.
2. Teknik
sub kultur untuk tanaman yang relatif lama di sub kultur.
3. Teknik
sub kultur untuk tanaman yang diperbanyak dengan multifikasi tunas, maka subkultur
dapat dilakukan dengan memisahkan anakan tanaman dari koloninya atau melakukan
penjarangan.
4. Untuk
tanaman yang tipe pertumbuhannya dengan pemanjangan batang maka sub kultur bisa
dilakukan dengan memotong tanaman per ruas tanaman yang ada. Namun jika ada
planlet yang masih terlalu kecil dan beresiko tinggi untuk dipotong, maka sub
kulturnya cukup dilakukan dengan dipisahkan dari induknya dan ditanam kembali
secara terpisah (Hendrayono, 1994).
Teknik sub kultur tanaman pada media padat lebih
mudah dilakukan yaitu hanya dengan meletakkan kalus yang sudah terbentuk di
atas cawan petri, kemudian membagi menjadi bagian bagian kecil dengan
menggunakan skalpel dan pinset. Setelah pemotongan kalus menjadi bagian yang
kecil, maka dimasukkan kembali ke dalam botol kultur baru yang berisi media
dengan komposisi bahan kimia sama seperti media lama. Kemudian botol
kultur ditutup dan diinkubasikan
kembali.. Tahapan tahapan dalam sub kultur terdiri dari :
a. Regenerasi
b. Multiplikasi, bertujuan untuk
memperbanyak tunas.
c. Pengakaran, ialah tahapan dimana masing masing plantlet tumbuh dan
mengalami pembesaran, pengakaran dan
perangsangan aktifitas fotosintesis.
d. Inisiasi,
yaitu melakukan sebanyak 8 – 10 kali
sehingga menghasilkan sejumlah besar tunas) dari satu
eksplan.
e.
Mikropopagasi, merupakan tunas yang dibesarkan atau diakarkan .
Faktor yang
mempengaruhi keberhasilan sub kultur sama dengan faktor yang menentukan
keberhasilan kultur jaringan
antara lain:
1.
Genotipe Tanaman
Salah satu
faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis eksplan dalam
kultur jaringan adalah genotip tanaman asal eksplan diisolasi. Perbedaan respon
genotip tanaman tersebut dapat diamati pada perbedaan eksplan masing masing
varietas untuk tumbuh dan beregenerasi
2.
Media kultur
Perbedaan
komposisi media, seperti jenis dan komposisi garam garam anorganik, senyawa
organik, zat pengatur tumbuh sangat mempengaruhi respon eksplan saat
dikulturkan. Perbedaan komposisi media sangat mempengaruhi arah pertumbuhan dan
regenerasi eksplan (Yuliarti, 2010).
3. Lingkungan tumbuh
Faktor
lingkungan tumbuh yang dimaksud ialah suhu, kelembaban, cahaya dan lain
sebagainya. Umumnya suhu yang digunakan dalam kultur jaringan lebih tinggi dari
kondisi suhu lingkungan, hal ini bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan dan
morfogenesis eksplan. Dalam aspek kelembaban relatif dalam botol kultur dengan
mulut botol yang ditutup umumnya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 80-99%.
Kelembaban udara dalam botol kultur yang terlalu tinggi menyebabkan tanaman
tumbuh abnormal yaitu daun lemah, mudah patah, tanaman kecil-kecil namun
terlampau sukulen. Kondisi demikian dapat diatasi dengan melakukan sub kultur
ke media lain dan meletakkan dengan tutup yang agak longgar. Sedangkan untuk
aspek intensitas cahaya, lama penyinaran atau photoperiodisitas berpengaruh
terhadap pertumbuhan eksplan yang dikulturkan .
4. Kondisi Eksplan
Kondisi
eksplan yang mempengaruhi keberhasilan teknik kultur jaringan antara lain jenis
eksplan, ukuran, umur dan fase fisiologis jaringan yang digunakan sebagai eksplan.
Adapun pengaruh tersebut ialah umur eksplan berpengaruh terhadap kemampuan
eksplan untuk tumbuh dan beregenerasi. Eksplan yang masih muda
adalah eksplan yang baik untuk perbanyakan tanaman secara kultur jaringan pada
jaringan tersebut masih berproliferasi dibandingkan jaringan yang berkayu atau
yang sudah tua .
BAB III. METODE PELAKSANAAN
3.1 Waktu dan Tempat
Pelaksanaan praktikum Kultur Jaringan Tumbuhan
dengan acara Sub Kultur dilaksanakan pada hari Sabtu, 29 Mei 2016 pukul 09.00 – 12.00 WIB di
Laboratorium Kultur Jaringan Jurusan Budidaya Tanaman Fakultas Pertanian
Universitas Jember.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1
Alat
Ø Laminar Air Flow
(LAF)
Ø Bunsen
Ø Botol
kultur
Ø Petridish
Ø Beaker glass
Ø Pinset
Ø Scalpel
3.2.2
Bahan
Ø Alkohol
70 %
Ø Media (MS 0, 2.4D 0,5 ppm, BAP 0,5 ppm, IAA 0,5 ppm , BAP 1.0 ppm +
IBA 0.5 ppm )
Ø Kultur
tembakau dan kultur kentang
3.3 Cara Kerja
1.
Tembakau
2.
Kentang
BAB
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Pengamatan
Ulangan
|
Kentang
|
Tembakau
|
||||||||||
Hari
ke 4
|
Hari
ke 5
|
Hari
ke 4
|
Hari
ke 5
|
|||||||||
PT
|
∑A
|
∑ T
|
PT
|
∑A
|
∑ T
|
PT
|
∑A
|
∑ T
|
PT
|
∑A
|
∑ T
|
|
A1
|
0
|
2
|
0
|
1.4
|
2
|
2
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
A2
|
1.75
|
0
|
3
|
0
|
0
|
0
|
0.25
|
0
|
0.5
|
0.75
|
0
|
0.5
|
B1
|
0.3
|
1
|
1
|
0.4
|
1
|
2
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
B2
|
1.5
|
0
|
2
|
0
|
0
|
0
|
0.75
|
2
|
1
|
3.2
|
2
|
2.5
|
C1
|
0
|
4
|
0
|
0
|
5
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
C2
|
1.25
|
0
|
2
|
0
|
0
|
0
|
0.25
|
0
|
0.5
|
0.5
|
0
|
1
|
D1
|
0.2
|
0
|
1
|
0.3
|
2
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
D2
|
1.75
|
0
|
2
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Keterangan :
A : 2.4 D = 0.5 ppm
B : BAP = 0.5 ppm
C : IAA = 0.5 ppm
D : BAP + IBA= 0.5 ppm
PT
: panjang tunas
∑A : jumlah akar
∑T : jumlah tunas
4.2
Pembahasan
Pada
praktikum bab mengenai subkultur ini menggunakan bahan tembakau dan kentang.
Praktikum ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan kultur baru
setelah dilakukan subkultur dengan media yang berbeda. Pada
saat percobaan dilakukan pengamatan pada hari ke-4 dan hari ke-5 dengan
4 kali pengulangan. Setiap kelompok tersebut melakukannya dengan perlakuan pada
botol A dengan 2, 4D 0,5 ppm, botol B menggunakan BAP 0,5 ppm, botol C
menggunakan IAA 0,5 ppm, sedangkan botol D menggunakan BAP 0,5 ppm dan IBA 0,5
ppm.
Langkah
kerja untuk melakukan percobaan ini dengan cara
praktikan melakukan sterilisasi lingkungan LAF dan tangan selama
pengerjaan dengan menggunkan alcohol. Begitu juga dengan alat-alat yang
dipakai. Selanjutnya mendekatkan botol kultur jaringan ke bunsen, lalu
mengeluarkan tanaman tembakau dan kentang dari botol kultur. Tanaman yang telah
dipilih diletakkan pada petridish steril. Melakukan pemisahkan satu per satu
tanaman yang tumbuh menggerombol menggunakan pinset. Pada tanaman kentang memotong
internodusnya tanpa menghilangkan daunnya sedangakan untuk tanaman tembakau
daun-daunnya dihilangkan lalu dipotong internodusnya. Ketika medium baru siap,
selanjutnya tanaman tersebut ditanamkan ke 4 botol yang baru berisi agar
nutrisi. Terakhir tanaman tersebut siap untuk dikembangbiakkan ditempat
penyimpanan yang steril dengan cahaya yang cukup.
Hasil
pengamatan yang sudah diperoleh menunjukkan pada hasil kelompok 2 tidak ada
pemanjangan tunas, bertambahnya jumlah akar dan tunas dikarenakan pertumbuhan
tembakau cukup sulit untuk disubkultur. Ini terjadi karena saat proses
penanaman praktikan seringa mengabaikan proses sterilisasi alat, bahan, maupun
tangan praktikan. Selain itu kondisi LAF sebelum digunakan seharusnya dicek
dahulu kondisinya, saat penyalaan lampu UV dan lampu neon harus diperhatikan
lamanya penggunaan kedua lampu tersebut. Hasil dari kelompok yang menggunakan
kentang dan tembakau mengalami pertumbuhan yang drastis hanya terjadi pada
pengulangan botol C. Sebab botol C yang menggunakan nutrisi IAA 0,5 ppm
mempengaruhi pertumbuhan dominan pada tunas. Hanya pengulangan yang pertama
saja jumlah akarnya yang bertambah.. Ini sesuai dengan penelitian dari
Khajehpour (2014), sebab IAA atau auksin adalah hormone tumbuhan yang
diaplikasikan untuk menginduksi akar, sehingga hasil tersebut sesuai dengan
literature. Seharusnya yang lebih dominan adalah pada bagian pucuk.
Sedangkan
pertumbuhan pada tanaman kentang,
menurut hasil pengamatan yang diperoleh menunjukkan bahwa pertumbuhan
tunas pada pengulangan A2 semula panjang tunas 1,75 cm dengan jumlah
tunas sebanyak 3, sedangkan pada tanaman tembakau semula tunas 0,25 cm dengan
jumlah tunas 0,5, pada hari kelima panjang tunas tersebut menjadi 0,75 dengan
jumlah akar 0,5. Ini menujukkan bahwa botol yang berisi 2,4 D 0,5 ppm
mempengaruhi pertumbuhan tunas kedua tanaman. 2,4 D 0,5 ppm termasuk hormon
auksin. Namun, hormon tersebut mengalami sintesis. Hormon auksin yang terjadi
secara alami memiliki kemampuan lebih baik dari hormone ini.
Pada
perlakuan yang menggunakan BAP 0,5 ppm ( botol B) menunjukkan hasil pemanjangan
tunasnya bertambah namun akarnya tidak mengalami penambahan jumlah. Ketika
pengulangan B1 pada tanaman tembakau menunjukkan 0 ini disebabkan oleh
ketahanan tembakau yang tidak sesuai dengan ZPT BAP 0,5 ppm. Sitokinin seperti
benzyl aminopurine (BAP) dan kinetin diketahui untuk mereduksi meristem apical
dan akar adventive pada tanaman yang diuji (Ngomuo, 2013). Fungsi dari beberapa
zat pengatur tumbuh ini beragam untuk ZPT auksin (2,4-D, IAA, NAA) berfungsi
untuk pembelahan sel dan pembentukan akar, sedangkan sitokinin (kinetin, BAP) berguna untuk
membantu pembelahan sel dan diferensiasi tunas adventif. Fungsi dari ZPT 2,4 D
dan IAA menunjukkan hasil yang kurang sesuai dengan fungsi dari hormone
tersebut yang termasuk hormone auksin yang seharusnya dapat menimbulkan
pertumbuhan akar.
Menurut
Ibironke (2016), bahwa pengaruh dari hormone IBA dan NAA memberikan penambahan
jumlah akar antara 3 sampai 29, dengan panjang 2,5 cm dan 10 cm dari
penelitiannya mengenai tanaman Mussaenda
philippica. Sedangkan perlakuan ZPT BAP pada botol B (BAP 0,5 ppm) dan D
(BAP, IBA 0,5 ppm) menyebabkan hasil yang sesuai. Namun hasil pada tanaman
tembakau yang dengan penambahan IBA tidak sesuai dengan fungsinya ditunjukkan
hasil 0 bahwa seharusnya terdapat pertambahan akar.
Pengaruh
dari keempat perlakuan tersebut dilakukan untuk mengoptimalkan pertumbuhan
setiap tanaman sesuai dengan zat
pengatur tumbuh yang dipakai. Sebab, tanaman tersebut dipindahkan/ disubkultur
karena sudah melebihi dari masa inkubasinya. Ini terjadi karena sudah muncul
akar, batang, dan daun sehingga pertumbuhannya ini mengurangi nutrisi ZPT yang
ada sehingga menjadi kering. Beberapa tanaman mulai menunjukkan pertumbuhan
yang abnormal yakni berwarna pucat pada bagian batang, pada kentang
menggerombol kecil pertambahan tingginya terhambat, serta kondisi agar yang
pecah/ mengering. Warna tanaman yang pucat atau menjadi coklat karena terdapat
senyawa fenolik pada tanaman tersebut. Warna yang menjadi coklat disebabkan
oleh adanya larutan fenol yang mengikat oksigen dari luar, sehingga terjadi
oksidasi senyawa fenolik
Kendala
yang terjadi ketika pertumbuhannya tidak sesuai dengan zat pengatur tumbuhnya
dikarenakan terjadinya kontaminasi. Ketahanan tanaman yang berbeda sehingga kondisi lingkungan sangat
mempengaruhi pertumbuhan kedua tanaman. Menurut Okinyi (2012), mengungkapkan
kultur jaringan memiliki banyak keuntungan
produksi bahan tanam menjadi bebas penyakit dan dapat diproduksi dalam
jumlah besar sehingga memungkinkan penyebaran cepat. Namun, karena terjadi
kontaminasi tanaman tersebut dipengaruhi ketika melakukan persiapan alat dan bahan tidak memperhatikan
sterilisasi alat maupun tangan praktikan sebelum melakukan pemindahan. Terdapat
banyak mikroba yang sangat mudah menyebabkan terjadinya jamur maupun infeksi
bakteri pada tanaman khususnya tembakau. Ada juga yang disebabkan masih
tersisanya nutrisi di media lama yang masih terbawa saat pemindahan sebab
tanaman yang dilakukan tidak dibersihkan dengan air mengalir. Sedangkan faktor
dari lingkungan pH, kelembapan, cahaya, dan nutrisi yang dibutuhkan kedua
tanaman tersebut ada yang tidak sesuai. Sebab, ketika penanamannya tidak
melekat pada agar menjadikan tanaman tersebut tidak dapat optimal mendapatkan
zat pengatur tumbuh yang maksimal dengan kondisi lingkungan yang kurang
mendukung.
Sifat
totipotensi pada sel tumbuhan menyebabkan eksplan tumbuhan yang dikulturkan
pada media agar yang mengandung nutrisi untuk pertumbuhan tanaman serta telah diberikan
zat pengatur tumbuh (ZPT), akan mengalami pembelahan dan pemanjangn sel – sel
sehingga berkembang menjadi akar, yang dipengaruhi oleh hormon auksin yang
merangsang pembentukan akar lateral. Umumnya eksplan akan membentuk akar pada
minggu awal pertumbuhan, kemudian dilanjutkan dengan pertumbuhan tunas-tunas.
Tunas dapat terbentuk karena konsentrasi
hormon sitokinin lebih besar daripada konsentrasi hormon auksin (IAA). Tetapi
jika konsentrasi hormon auksin (IAA) lebih besar daripada konsentrasi hormon
sitokinin, maka yang terbentuk adalah kalus yaitu sekumpulan sel amorphous
(tidak berbentuk atau belum terdiferensiasi) yang terbentuk dari sel-sel yang
membelah terus menerus secara in vitro atau di dalam tabung.
Hal ini sesuai dengan teori, menurut Munarti dan
Kurniasih (2014), pemberian IAA dalam
media kultur berpengaruh nyata terhadap inisiasi akar, sedangkan BAP dan
interaksinya berpengaruh tidak nyata terhadap inisiasi akar. Auksin memiliki
peranan yang penting dalam inisiasi akar pada kultur in vitro, bahwa auksin
berperan dalam memacu pembentukan akar lateral dari kalus yang belum
terdiferensiasi.
Sedangkan pemberian hormonsitokinin (BAP) dalam media
kultur berpengaruh nyata
terhadap panjang tunas
sedangkan IAA dan interaksinya berpengaruh tidak nyata
terhadap panjang tunas (table 5). Pertambahan tinggi
dapat dipengaruhi
denganadanya penambahan zat
pengatur tumbuh, khususnya
pemberian zat pengatur tumbuh berupa
hormon sitokinin (BAP) yang dapat merangsang pertumbuhan tinggi eksplan
kentang dengan cepat.
Menurut
sumber teori yang lebih spesifik, oleh Aladele, et. all (2012), Di antara semua
hormon pertumbuhan yang digunakan, IBA ( 0.05 mg / l ) + BAP ( 0.01 mg / l )
kombinasi memberikan hasil terbaik untuk kedua perakaran dan panah sementara
terbanyak node ditemukan di BAP ( 0.05 mg / l ) + NAA ( 0.01 mg / l ).
Penerapan kinetin baik dalam kombinasi dengan naa dan sendirian mengakibatkan
prematur penuaan dengan nomor tangaki lebih rendah. Hal ini merupakan sebuah
ketentuan untuk 27 hasil yang menunjukkan bahwa kinetin bukan penyimpan hormon
untuk regenerasi sel, terutama jika itu akan tetap ditumbuhkan secara in vitro
untuk waktu yang lama. Namun BAP ( 0.05 mg / l ) + IAA( 0.01 mg / l ) adalah
kombinasi yang memunculkan paling sedikit tangkai dan kallus yang dihaslkan
tanpa regenerasi menjadi plantlet. Hasil menunjukkan bahwa
pertumbuhan T. occidentalis secara in vitro dipengaruhi oleh hormon yang
spesifik.
Pada setiap plantet yang di subkultur , media yang
digunakan berbeda beda. Ada 4 macam media yang digunakan dalam penanaman
subkultur , media nya yaitu hormon sitokinin (BAP) , hormon auksin (IAA) , IBA
,dan 24 D . Plantet yang digunakan yaitu dari tanaman tembakau dan kentang .
Dalam pengamatan kelompok kami menggunakan plantet dari kentang yang ditanam
dalam ke empat media tersebut, dari hasil pengamatan yang dilakukan, laju
pertumbuhan tunas dan akar yang lebih cepat dan lebih banyak jumlahnya adaalah
pada tanaman kentang dengan induksi hormon auksin (IAA).
Hal tersebut sesuai dengan teori, menurut Purwanto (2009),
terdapat jenis – jenis media yang digunakan dalam kultur jaringan yang
disesuaikan dengan zat pengatur tumbuh , yaitu auksin dan sitokinin. Auksin digunakan secara luas dalam kultur
jaringan untuk merangsang pertumbuhan kalus akar, suspensi sel dan organ Contoh
hormon kelompok auksin adalah 2,4 Dikloro Fenoksiasetat (2,4-D), Indol Acetid
Acid (IAA), Naftalen Acetid Acid (NAA), atau Indol Buterik Asetat (IBA). Jadi
plantet yang ditanam paada media ini pertumbuhannya akan berpusat pada kalus ,
akar, suspensi sel dan organ.
Hormon sitokinin berperan untuk merangsang pembelahan sel
dan merangsang pertumbuhan tunas pucuk. Golongan ini sangat penting dalam
pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin yang biasa digunakan
dalam kultur jaringan adalah kinetin, ziatin, benzilaminopurine (BAP). Jadi
plantet yang ditanam paada media ini pertumbuhannya akan berpusat pada kalus ,
akar, suspensi sel dan organ.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Setelah melakukan praktikum
ini menunjukkan hasil kelompok 2 dengan perlakuan BAP tidak ada
pemanjangan tunas, bertambahnya jumlah akar dan tunas dikarenakan pertumbuhan
tembakau cukup sulit untuk disubkultur. Hasil dari kelompok yang menggunakan
kentang dan tembakau mengalami pertumbuhan yang drastis menggunakan nutrisi IAA
0,5 ppm mempengaruhi pertumbuhan dominan pada tunas. Pertumbuhan yang terjadi pada tunas pengulangan A2
semula panjang tunas 1,75 cm dengan jumlah tunas sebanyak 3, sedangkan pada
tanaman tembakau semula tunas 0,25 cm dengan jumlah tunas 0,5, pada hari kelima
panjang tunas tersebut menjadi 0,75 dengan jumlah akar 0,5. Ini menujukkan
bahwa botol yang berisi 2,4 D 0,5 ppm mempengaruhi pertumbuhan tunas kedua
tanaman. 2,4 D 0,5 ppm termasuk hormon auksin.Ketika melakukan perlakuan yang menggunakan
BAP 0,5 ppm ( botol B) menunjukkan hasil pemanjangan tunasnya bertambah namun
akarnya tidak mengalami penambahan jumlah.
5.2
Saran
Ketika
melakukan teknik aseptic seharusnya praktikan benar-benar memahami kondisi
lingkungan yang kurang baik untuk pertumbuhan subkultur sehingga harus sering
melkukan sterilisasi lingkungan dan alat.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S. dan
Surachman, D. 2011. Teknik Sterilisasi
Rimpang Jahe sebagai Bahan Perbanyakan Tanaman Jahe Sehat Secara In Vitro.
Jurnal Buletin Teknik Pertanian, 16 (1) : 34-36.
Aladele, S.E.
2012. The Science of Plant Tissue Culture as a Catalyst
for Agricultural and Industrial Development in an Emerging Economy. http://dx.doi.org/10.5772/51843. Licensee
In Tech.
Boisson, A.M., Gout, E., Bligny, R., dan Rivassaeau, C. 2012. A simple and
efficient method for the long-term preservation of plant cell suspension
cultures. Plant Methods. Vol: 8 (4).
Hendrayono, D. P. S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta:
Kanisius
Husain,
Indriati. 2012. Induksi Protocorm pada
Eksplan Bawang Putih pada Media MS Minim Hara Makro dan Mikro yang Ditambahkan
Air Kelapa. JATT. Vol: 1 (1) : 28-32.
Ibironke,
Okunlola. 2016. Effect of Media and Growth Hormones on the Rooting of Queen of
Philippines (Mussaenda philippica). Journal
of Horticulture. Nigeria. The Federal University of Technology. Vol: 3:1.
Khajehpour,
Ghoudarz. 2014. Effect of Different Concentrations of IBA (Indulebutyric Acid)
Hormone and Cutting Season on the Rooting of the Cuttings of Olive (Olea
Europaea Var Manzanilla). International
Journal of Advanced Biological and Biomedical Reseach. Iran: Training
Center of Jahad e Agricultural of Southern. Vol: 2 (12), 2920-2924.
Munarti dan
Kurniasih, Surti. 2014. Pengaruh Konsentrasi IAA dan BAP Terhadap Pertumbuhan
Stek Mikro Kentang Secara In Vitro. Jurnal Pendidikan Biologi, FKIP,
Universitas Pakuan. Vol I No. 1
April 2014.
Ngomuo:
Munguatosha. The Effects of Auxins and Cytokinin on Growth and Development of
(Musa sp.) Var. “Yangambi” Explants in Tissue Culture. American Journal of Plant Sciences. Tanzania: Nelson Mandela
African Intitution of Sciece and Technology. Vol 4: 2174-2180.
Okinyi, Kwame.
2012. Low Cost Tissue Culture Technology in the Regeneration of Sweet Potato
(Ipomoea batatas (L) Lam). Research
Journal of Biology. Kenya. Kenyatta University. Vol. 02. pp. 51-58.
Purwanto,
Arie.2009. Pesona Anggrek Vanda. Yogyakarta: Kanisius.
Yann, L.K., Jelodar, N.B., dan Keng, C.L. 2012. Investigation
on the effect of subculture frequency and inoculum size on the artemisinin
content in a cell suspension culture of Artemisia annua L. Australian Journal of Crop Science. Vol
6 (5) : 801-807
Yuliarti, Nurheti. 2010. Kultur jaringan tanaman skala rumah tangga. Yogyakarta: Andi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar