LAPORAN
PRAKTIKUM
KULTUR JARINGAN TUMBUHAN
Acara
IV
(Aklimatisasi)
Oleh
Kelas C/ Kelompok 4
Marisanti (130210103003)
Titan Satria A. (130210103014)
Ayuni Dwi Anggraeni (130210103024)
Rose Lolita (130210103027)
Siti Naylatul F. (130210103035)
Novi Cahya (130210103037)
Ida Rusminingsih (130210103041)
Heni Lusiana (130210103044)
Nina Asmayah (130210103047)
Anisya’ Miftahul (130210103091)
Jurusan Pendidikan Biologi FKIP UNEJ
LABORATORIUM
KULTUR JARINGAN TUMBUHAN
JURUSAN
BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2016
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan ilmu teknologi pada saat ini semakin pesat
salah satunya dalam bidang bioteknologi. Kultur jaringan merupakan salah satu
teknik yang berkembang cukup pesat dalam dunia bioteknologi. Teknik kultur
jaringan adalah teknik budidaya berbagai bagian tanaman, seperti organ,
jaringan, sel, kelompok sel dan protoplas, yang dilakukan secara in vitro.
Bagian-bagian tanaman tersebut, yang diistilahkan sebagai eksplan, dipisahkan
dari lingkungan alamiahnya dan dibudidayakan pada medium buatan yang steril
agar dapat beregenerasi dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap kembali.
Adanya teknik kultur jaringan ini memiliki banyak manfaat diantaranya dapat
membudidayakan tanaman dengan cepat dan dalam jumlah yang banyak serta hasil
yang baik.
Kultur jaringan secara in vitro akan dihasilkan
tanaman-tanaman kecil yang disebut dengan planlet. Tanaman-tanaman kecil atau
planlet ini merupakan calon tanaman baru yang nantinya akan dibudidayakan di
lingkungan sesungguhmya. Namun kendala yang biasa dihadapi dalam teknik kultur
jaringan ini adalah tingginya tingkat kematian dan kerusakan tanaman ketika
dilakukan pemindahan ke kondisi sesungguhnya. Hal tersebut dikarenakan tanaman hasil
invitro bersifat peka dan rentan terhadap kondisi lingkungan. Selain itu palnlet ini merupakan tanaman yang masih
bersifat heterotof karena masih berada didalam media tumbuhnya untuk itu
tanaman kecil atau planlet ini haruslah diubah menjadi tanaman yang bersifat
autotrof. Aklimatisasi yakni proses pembiasaan tanaman dari lingkungan buatan
ke lingkungan sesungguhnya. Aklimatisasi ini penting untuk dilakukan karena
planlet hasil kultur in vitro biasanya masih bersifat rentan, mulai dari lapisan lilin (kutikula) tidak berkembang dengan
baik, kurangnya lignifikasi batang, jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang
berkembang dan stomata sering sekali tidak berfungsi (tidak menutup ketika
penguapan tinggi) bila hal ini dibiarkan maka tanaman hasil kultur tidak akan
mampu bertahan dilingkungan hidup sesungguhnya oleh sebab itu aklimatisasi
penting untuk dilakukan. Sebelum tanaman kultur diletakkan pada lokasi sesungguhnya terlebih dahulu tanaman
ini diaklimatisasi agar dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan hidup.
Aklimatisasi ini merubah tanaman yang sebelumnya masih bersifat heterotrof menjadi
bersifat autotrof sehingga ketika ia tidak lagi memperoleh nutrisi dari
mediumnya ia mampu membuat nutrisinya sendiri, dengan demikian tanaman ini akan
dapat bertahan hidup dan tumbuh menjadi tanaman yang sebenarnya.
Pada kultur jaringan tumbuhan, aklimatisasi ini merupakan
tahap yang paling dibutuhkan oleh planlet karena terdapat perbedaan
kritis antara kedua tempat tumbuh tersebut. Oleh karena itu untuk mengetahui
bagaimana proses aklimatisasi ini, apa
saja yang dibutuhkan dan harus diperhatikan dalam proses aklimatisasi maka
dilakukan praaktikum aklimatisasi ini.
1.2 Tujuan
Mengetahui proses perubahan kondisi tanaman dan keadaan
in vitro menjadi in vivo.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman anggrek dengan segala
keunik-annya yang memukau, telah menarik per-hatian para penggemar tanaman hias
sejak dua abad yang lalu. Anggrek merupakan satu satu jenis tanaman hias yang
mem-punyai keindahan bunga yang unik dan daya tahan bunga yang cukup lama jika
dibandingkan dengan tanaman lainnya. Keindahan dan daya tarik anggrek terletak
pada bentuk dan warna bunganya yang beraneka ragam. Sifat-sifat bunga yang
demikian ini menyebabkan anggrek banyak disenangi dan ditanam baik oleh para
pengusaha tanaman hias maupun para penggemar anggrek. Salah satu alternatif
untuk melestarikan keanekaragaman anggrek secara ex situ yaitu melakukan
perbanyakan melalui kultur in vitro. Dengan kultur in vitro,
selain dapat dilakukan perbanyakan ang-grek yang sulit maupun yang mudah
di-kembangkan secara konvensional, juga dapat memperoleh anakan dalam jumlah
banyak dan dalam waktu yang relatif singkat.
Bibit anggrek yang dikembangkan menggunakan metode kultur jaringan telah
banyak diproduksi dan dipasarkan dalam kemasan botol. Pemeliharaan bibit ini
menjadi tanaman dewasa masih menemukan banyak permasalahan terutama pada fase
aklimatisasi, yaitu pemindahan bibit dari lingkungan aseptik dalam botol ke
lingkungan non aseptik. Disamping kemungkinan tanaman sangat sensitif terhadap
serangan hama dan penyakit, tanaman ini masih memiliki aktifitas autotrofik
yang masih rendah, sulit mensintesa senyawa organik dari unsur hara anorganik.
Beberapa masalah fisiologis yang perlu mendapat perhatian dalam usaha
meningkatkan baik aktivitas autotrofik maupun viabilitas bibit anggrek botol (Wijayani,
1994).
Kultur
Jaringan (TC) merupakan teknologi yang dapat digunakan untuk menghasilkan bibit
ber-kualitas tinggi bukan menggunakan stek tradisional.Me-miliki fekunditas
tinggi, memproduksi ribuan propagul seperti teknik konven-sional (Ogero, 2012).
Kultur jaringan merupakan suatu teknik untuk mem-budidayakan tanaman dengan mengambil
bagian dari suatu tanaman seperti jaringan tanaman tersebut untuk dijadikan
tanaman baru yang mempunyai sifat seperti induknya. Dalam pelaksanaan kultur
jaringan, untuk membentuk suatu tanaman baru bagian dari tanaman yang baik
untuk digunakan adalah bagian jaringan meristem karena persentase
keberhasilannya lebih tinggi jika dibandingkan dengan menggunakan jaringan
lainnya. Selain itu jaringan meristem juga mempunyai sifat selalu membelah,
mempunyai dinding sel tipis, belum mengalami penebalan dan tidak mempunyai zat
pektin, selain itu plasmanya juga mempunyai banyak vakuola dengan ukuran yang
kecil-kecil. Umumnya orang menggunakan jaringan meristem untuk kultur jaringan
karena selnya selalu membelah dan kemungkinan mempunyai hormon yang mengatur pembelahan
(Wijayani, 1994).
Tanaman
yang dibudidayakan secara in vitro mempunyai kebutuhan nutrisi, vitamin dan
mineral yang sama dengan kebutuhan tanaman yang ditumbuhkan di tanah.
Unsur-unsur hara tersebut merupakan kebutuhan pokok yang dibutuhkan tanaman
untuk tumbuh dan berkembang dan harus tersedia dalam media kultur jaringan.
Kebutuhan pokok tersebut adalah unsur hara makro dan unsur hara mikro yang
dibutuhkan oleh tanaman dalam bentuk garam-garam mineral (Sandra, 2000).Di lingkungan
vitro menawarkan kepadatan cahaya rendah, kelembaban tinggi, kehadiran gula dan
zat pengatur tumbuh di substrat, dan pertukaran gas rendah, dengan kurangnya CO2
dan kelebihan etilena (Werner, 2016).
Regenerasi
tanaman in vitro dapat dicapai dengan menggunakan kultur kalus, organ, sel dan
protoplas. Meskipun eksplan jaringan dari jenis pohon umumnya sulit untuk
tumbuh di in vitro, kalus dan organ budaya telah digunakan dengan berbagai
tingkat keberhasilan untuk budidaya sejumlah tanaman berkayu. Pada awalnya
kultur kalus digunakan untuk planlet regenerasi, budaya organ (embrio,
kotiledon, meristem tunas) dan sekarang kebanyakan rutin digunakan untuk
budidaya tanaman (Mbosowo, 2015). Cara yang banyak digunakan dalam perbanyakan
tanaman pada saat ini adalah dengan metode kultur in vitro yang dilakukan untuk
perbanyakan tanaman. Bibit yang dihasilkan dari teknik in vitro umumnya masih
bersifat heterotrof yaitu belum mampu menyediakan makanan sendiri. Sehingga
bibit yang dihasilkan masih rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan, hama
penyakit sehingga diperlukan adanya tahap aklimatisasi (Purnami, 2014).
Aplikasi
kultur jaringan tanaman semakin meluas penggunaannya terutama dalam menyediakan
bibit tanaman secara massal, cepat, murah, dan bebas patogen pada tanaman
holtikultura, tanaman pangan, dan tanaman industri. Faktor yang menentukan keefektifitasan aplikasi bidang
bioteknologi adalah efisiensi sistem dan kemampuan regenerasi suatu tanaman.
Dalam kultur jaringan tanaman, materi tanaman yang diisolasi (protoplas, sel,
jaringan, dan organ) diupayakan untuk tumbuh dan membentuk tanaman baru
(Sukmadjaja, 2011). Faktor lain yang menentukan keberhasilan
perbanyakan tanaman secara in vitro adalah pemilihan bahan eksplan. Bahan
eksplan yang masih muda adalah bahan yang baik untuk digunakan sebagai
perbanyakan tanaman secara in vitro. Semakin tua organ tanaman eksplan, maka
proses pembelahan dan regenerasi sel cenderung menurun, oleh karena itu
jaringan yang masih muda lebih baik digunakan karena pada umumnya jaringan
tersebut masih berproliferasi daripada jaringan yang berkayu atau yang sudah
tua.
Monitoring
terhadap kultur yang dikonservasi secara in vitro sangat diperlukan
untuk mengetahui stabilitas genetik tanaman yang dikonservasi. Penyimpangan
hasil mutasi genetik yang muncul pada tanaman bervariasi dan mutasi tidak
terlihat pada kultur di dalam botol, kecuali kerdil dan albino. Mutasi genetik
akan terlihat setelah tanaman diaklimatisasi di rumah kaca (Syahid, 2008). Aklimatisasi adalah suatu proses
penyesuaian dengan kondisi lingkungan aslinya (Wahyudi, 2006). Aklimatisasi
merupakan proses pengadaptasian tanaman hasil kultur jaringan terhadap
lingkungan luar yang lebih ekstrim. Ada beberapa perbedaan faktor-faktor
lingkungan yang utama dari kondisi kultur jaringan dan greenhouse dengan
lingkungan antara lain cahaya, suhu dan kelembaban relatif, selain unsur hara
dan media tanam. Komponen cahaya dan suhu dapat disesuaikan dengan pemberian
naungan. Variasi tingkat naungan yang dicobakan pada berbagai tanaman pada
tahap aklimatisasi yaitu antara 20-90%. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan aklimatisasi tanaman dari hasil kultur in vitro
dipengaruhi oleh ukuranbibit, perakaran, media, kelembapan udara,dan serangan
hama penyakit.Keberhasilan aklimatisasi tanaman hasil kultur in
vitro juga dipengaruhi oleh ukuran bibit, perakaran, media, kelembapan udara,
dan serangan hama penyakit(Basri, 2013). Selain
itu faktor yang perlu mendapat perhatian pada saat aklimatisasi adalah
pemupukan. Pemberian pupuk yang tepat untuk tanaman yang akan di aklimatisasi
membantu tanaman untuk bisa beradaptasi dengan baik. Untuk tujuan efisiensi
penggunaan bahan kimia serta biaya maka frekuensi pemberian pupuk harus di
perhatian. Frekuensi pemberian yang tepat diperlukan untuk mendapatkan pertumbuhan
bibit yang paling optimal (Dwiyanti, 2012).
Aklimatisasi
dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup.
Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama
penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan
hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan
barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit
dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif. Media yang
digunakan dalam tahap aklimatisasi dapat berupa campuran dari berbagai jenis,
seperti kompos, pasir, blotong dan lain-lain. Sebelum digunakan media harus
disterilkan terlebih dahulu.
Dalam proses aklimatisasi juga dilakukan penaungan.
Naungan dua lapis waring umumnya memberikan pertumbuhan yang lebih baik
dibandingkan dengan naungan satu dan tiga lapis waring. Pada naungan dua lapis
waring merupakan kondisi lingkungan yang optimal sehingga pertumbuhan tanaman
maksimal, pada naungan dua lapis waring merupakan titik keseimbangan antara
kebutuhan cahaya dan besarnya transpirasi sehingga unsur hara, air, suhu udara
dan cahaya tercukupi untuk pertumbuhan tanaman. Pada tingkat naungan hanya satu
lapis waring intensitas cahaya yang diterima tanaman terlalu tinggi, sehingga
tanaman berusahan untuk mengimbangi antara kebutuhan intensitas cahaya dengan
transpirasi yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tinggi tanaman.
Sebaliknya pada tingkat naungan tiga lapis waring, tanaman kekurangan cahaya.
Sehingga menyebabkan suhu terlalu rendah dan pertumbuhan tanaman terhambat.
Sebaliknya tanpa naungan cahaya terlalu tinggi, suhu juga tinggi sehingga dapat
menekan daya kerja auksin (zat pemacu pertumbuhan). Pada siang hari naungan
berperan untuk mengurangi tingginya suhu maksimum dengan cara menahan cahaya
matahari yang diterima tanaman dan pada malam hari naungan mengurangi turunnya
suhu minimum dengan cara menghambat radiasi panas dari bumi ke atmosfer (Basri,
2013).
Proses aklimatisasi sangat
penting dilakukan karena sebagai penentu tingkat keberhasilan tanaman yang
ber-asal dari in vitro untuk beradaptasi pada kondisi in vivo. Pada proses ini,
lingkungan tumbuh berangsur-angsur disesuaikan dengan kondisi lapangan. Planlet
hasil kultur in vitro biasanya memiliki perakaran yang sedikit dan lemah.
Sistem perakaran yang demikian sangat rentan dan tidak berfungsi dalam keadaan
in vivo. Akar tersebut akan segera mati dan harus segera diganti dengan akar
yang baru. Penunjang keberhasilan pertumbuhan bibit pada masa aklimatisasi
diberikan zat pengatur tumbuh yang dapat merangsang pembentukan akar.
Diantaranya adalah jenis auksin, seperti: Naphtha-lena Acetic Acid dan Indole
Buteric Acid adalah bentuk terbaik untuk pertumbuhan akar. Pemberian NAA pada
konsentrasi yang terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan dan sebaliknya
pada konsentrasi dibawah optimum tidak efektif.
Beberapa
sifat yang kurang menguntungkan dari tanaman hasil regenerasi melalui kultur
jaringan adalah lapisan kutikula yang kurang berkembang, jaringan pembuluh akar
dan batang kurang sempurna, stomata tidak berfungsi, berkurangnya sel-sel
palisade daun, dan lignifikasi batang. Keadaan tersebut menyebabkan bibit
kultur rentan terhadap hama, penyakit, dan udara luar sehingga menyulitkan
dalam proses aklimatisasinya. Keberhasilan aklimatisasi ditentukan oleh
berbagai faktor. Secara umum, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
keberhasilan aklimatisasi tanaman adalah kondisi planlet (ukuran bibit,
perakaran), kondisi lingkungan (ketepatan media tumbuh yang digunakan dan
kelembapan udara), ketepatan perlakuan sebelum dan sesudah transplantasi dari
media in vitro ke media tanah, dan sanitasi lingkungan dari infeksi penyakit.
BAB 3. METODE PELAKSANAAN
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Kultur Jaringan dengan Judul “Aklimatisasi” di lakukan pada Minggu
29 Mei 2016 pukul 07.30 WIB sampai selesai bertempat di Laboratorium Kultur Jaringan, Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian
Universitas Jember.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1. Gelas plastik
2.
Pinset
3.
Baskom
4.
Petridish
3.2.2 Bahan
1.
Media tanam (pasir dan akar pakis)
2. Air
3. Planlet
(kentang dan anggrek)
4.
Fungisida
3.3 Prosedur Kerja
1.
Mencuci bersih sisa media agar di planlet.
2.
Mencuci planlet di air mengalir kemudian ditiriskan.
3.
Menyiapkan media aklimatisasi yang berupa gelas plastik.
4.
Merendam planlet di larutan fungisida ± 1 menit.
5.
Membilas planlet dengan air mengalir dan dikering anginkan.
6.
Menanam planlet pada media tanam dengan hati-hati supaya akar tidak putus.
7.
Menyungkup planlet dengan gelas plastik supaya tidak terjadi penguapan
berlebihan (khusus pada planlet kentang sedangkan anggrek tidak diberi
sungkup).
8.
Mengamati pertumbuhan planlet.
3.4 Parameter Pengamatan
Mengamati planlet yang hidup segar, layu dan kering (mati), jumlah daun,
dan panjang tunas. Mencatat kondisi tanaman setiap pengamatan.
BAB
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Media
|
Kentang
|
Anggrek
|
||||||||||
Hari
ke-4
|
Hari
ke-5
|
Hari
ke-4
|
Hari
ke-5
|
|||||||||
∑ daun
|
Р
tunas
|
Kondisi
tanaman
|
∑ daun
|
Р
tunas
|
Kondisi
tanaman
|
∑ daun
|
Р
tunas
|
Kondisi
tanaman
|
∑ daun
|
Р
tunas
|
Kondisi
tanaman
|
|
A1
|
5
|
5
|
Layu
|
0
|
5,2
|
Layu
|
2
|
2
|
Layu
|
2
|
2
|
Kering,
mati
|
A2
|
4
|
5
|
Segar
|
4
|
5,2
|
Segar
|
2
|
0,4
|
Segar
|
2
|
0,4
|
Sedikit
layu
|
B1
|
7
|
4,5
|
Layu
|
0
|
4,7
|
Layu
|
3
|
1,8
|
Segar
|
3
|
1,8
|
Layu
|
B2
|
4
|
5,2
|
Segar
|
4
|
5,3
|
Segar
|
6
|
2,5
|
Segar
|
8
|
2,6
|
Segar
|
C1
|
12
|
6,6
|
Layu
|
0
|
6,6
|
Segar
|
5
|
3,5
|
Segar
|
5
|
3,7
|
Segar
|
C2
|
6
|
7,5
|
Segar
|
6
|
6
|
Layu
|
9
|
2,8
|
Segar
|
8
|
2,8
|
Segar
|
Keterangan:
∑ = jumlah
P = panjang
4.2 Pembahasan
Pada hasil pengamatan, diketahui bahwa baik
pertumbuhan tanaman kentang maupun tembakau yang di aklimatisasi mengalami
penurunan pertumbuhan terutama dari segi jumlah daun dari pengamatan hari ke-4
ke pengamatan hari ke-5. Kondisi tanaman juga mengalami penurunan yang ditandai
dengan kelayuan tanaman baik tanaman kentang maupun tembakau. Menurut Basri
(2004) dalam Basri dkk (2013), aklimatisasi merupakan proses pengadaptasian
hasil kultur jaringan terhadap lingkungan luar yang lebih ekstrim. Perbedaan
faktor-faktor lingkungan yang utama dari kondisi kultur jaringan dan greenhouse
antara lain cahaya, suhu, kelembaban relatif, di samping hara dan media
tanam. Komponen cahaya dan suhu dapat disesuaikan dengan pemberian naungan.
Menurut Slamet (2011) dalam Basri dkk (2013), bahwa keberhasilan aklimatisasi
tanaman hasil kultur in vitro dipengaruhi oleh ukuran bibit, perakaran,
media, kelembapan udara, dan serangan hama penyakit. Dari hasil pengamatan juga
diketahui bahwa tanaman kentang yang di aklimatisasi lebih rentan layu meskipun
diberikan sungkup, sedangkan tanaman anggrek lebih tahan dan lebih kuat
terhadap kelayuan. Perawatan terhadap tanaman yang baru di aklimatisasi juga
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan aklimatisasi terutama dalam menjaga
kelembapan media.
Tanaman yang di aklimatisasi
berada dalam masa kritis, karena merupakan pengkondisian awal dari kondisi in
vitro ke kondisi in vivo atau penyesuaian diri dari kondisi heterotrof ke
kondisi autotrof. Menurut Pardal et al. (2005) dalam Slamet (2011).
klimatisasi merupakan tahapan paling kritis dan sulit pada proses regenerasi
tanaman secara in vitro. Kegagalan aklimatisasi tanaman merupakan
kendala yang banyak dijumpai di Indonesia. Oleh karena itu, tahapan ini
memerlukan pengalaman dan penanganan yang sarat kehati-hatian karena 50
aklimatisasi adalah mengadaptasikan planlet dari media kultur in vitro ke
media tanah pada ruangan terbuka Penyesuaian bibit kultur terhadap lingkungan
luar merupakan salah satu tahapan yang harus dilalui dalam kegiatan yang
melibatkan kultur in vitro. Menurut Ziv (1986) dalam Pierik 1987)
dalam Slamet (2011), aklimatisasi adalah masa adaptasi planlet dari kultur
heterotrofik menjadi autotrofik, yang merupakan tahap akhir dari kegiatan
kultur in vitro. Aklimatisasi merupakan adaptasi planlet dari lingkungan
yang terkendali (in vitro) ke lingkungan in vivo sebelum ditanam
di lapangan (Husni et al. 2004a) dalam Slamet (2011).
Pada praktikum
aklimatisasi yang telah dilakukan, pertama menyiapkan media tanam untuk kentang
dan anggrek. Menurut
Iswanto, (2002) dalam Andalasari (2014) media tanam yang baik harus memenuhi
kreteria antara lain; tidak mudah lapuk, tidak mudah menjadi sumber penyakit,
aerasi baik, mampu mengikat air dan unsur hara dengan baik, mudah didapat dan
harga relative murah. Media tumbuh yang baik bagi anggrek (famili Orchidaceae)
harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain tidak lekas melapuk dan
terdekomposisi, tidak menjadi sumber penyakit, mempunyai aerasi dan draenase
yang baik, mampu mengikat air dan zat-zat hara secara optimal, dapat
mempertahankan kelembaban di sekitar akar, dibutuhkan ph media 5-6, ramah
lingkungan serta mudah didapat dan relatif murah harganya. Media tumbuh tanaman
anggrek yang umum digunakan adalah arang, pakis, moss, potongan kayu, potongan
bata atau genting, serutan kayu, kulit pinus dan serabut kelapa. Pada
praktikum, media tanam kentang adalah pasir steril dan media tanam anggrek
adalah akar pakis. Keunggulan media pakis dibandingkan dengan media tanam yang
lain diduga media pakis memiliki kreteria yang baik bagi pertumbuhan tanaman
anggrek diantaranya pakis mampu mengikat dan menyimpan air dengan baik,
memiliki aerasi dan draenasi baik, melapuk secara perlahan dan mengandung unsur
hara yang diperlukan bagi tanaman anggrek (Widiastoety, 2004) dalam Andalasari
dkk (2014). Kemampuan pakis dalam mengikat dan menyerap air mengakibatkan pakis
mudah menyerap cairan pupuk yang disemprotkan dan dapat menambah kandungan
unsur hara yang ada pada media dan dapat membantu mempercepat pertumbuhan
anggrek. Selain itu menurut Don, Emir, dan Hadibroto (2001) dalam Andalasari
dkk (2014)., pakis memiliki kandungan gula, asam amino, asam alifatik dan
konsituen ester yang dibutuhkan anggrek. Media tanam pakis juga memiliki
kelebihan yaitu tidak mudah lapuk sehingga tanaman dapat menyerap unsure hara
yang dikandungnya dalam kurun waktu yang lama.
Setelah pembuatan media
selesai, langkah selanjutnya yaitu menanam eksplan pada media. Setiap botol
diisi dengan 1 tanaman. Untuk tanaman anggrek tidak perlu di sungkup, sedangkan
tanaman kentang di sungkup. Penyungkupan bertujuan untuk menghindari penguapan
yang berlebihan. Selanjutnya tanaman diletakkan di tempat yang sudah
disesuaikan keadaan lingkungannya untuk pertumbuhan tanaman aklimatisasi.
Tahapan dari aklimatisasi ini harus lah benar baik dalam hal
teknik aseptik dan tentunya kondisi lingkungan supaya tanaman berhasil hidup
dalam kondisi yang terbaik. Terdapat beberapa faktor yang mendukung supaya
tanaman tetap hidup hingga nantinya dapat di tanam di lingkungan luar.
Faktor-faktornya diantaranya yaitu kelembaban, cahaya, temperature, teknik
aseptik , dan teknik penyungkupan.
Pertama adalah kelembaban dimana
planlet sudah di pindahkan tersebut dari awal pemindahan sudah di kondisikan
agar tanaman berada dalam kelembaban yang relatif tinggi untuk beberapa hari
awal. Penambahan kelembaban dan pengurangan intensitas cahaya haruslah secara
bertahap atau perlahan agar tanaman dapat hidup dengan baik dan tanaman tidak
mengalami stress. Teknik yang di gunakan untuk dapat mempertahankan kelembaban
tanaman adalah dengan menyelungkupi tanaman menggunakan gelas plastik.
Kemudian faktor selanjutnya yang
mempengaruhi tahapan aklimatisasi agar berhasil adalah intensitas cahaya.
Dimana pada saat tanaman di tanam dalam kondisi in vitro, tanaman haruslah di
sinari dengan intensitas cahaya yang rendah. Dikarenakan jika tanaman yang di
tanam dalam kondisi in vitro ini di taman dengan paparan intensitas cahaya yang
langsung tinggi akan mengakibatkan tanaman menjadi dehidrasi akibat terlalu
banyak mengeluarkan air (transpirasi) dan lama kelamaan akan menjadi kering dan
mati. Maka dari itulah dalam tahapan aklimatisasi ini tanaman harus di naungi
terlebih dahulu agar tidak terpapar matahri secara langsung, setelah beberapa
lama mulai di pindahkan ke tempat dimana mendapatkan matahari secara langsung.
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi
tahapan aklimatisasi adalah temperatur dimana lokasi yang di gunakan sebagai
lokasi awal di tanamkan tanaman haruslah memiliki suhu sekitar 25oC-30oC.
Cara mengatur suhu di dalam lokasi tersebut adalah dengan pengaturan fentilasi
dan juga mungkin dengan pemberian Air Condition yang bisa di atur suhunya.
Lalu faktor selanjutnya yang
mempengaruhi tahapan aklimatisasi adalah teknik penyungkupan dimana teknik
penyungkupan ini bertujuan untuk melindungi kontaminasi mikroorganisme yang ada
di udara, kemudian juga untuk mempertahankan kelembaban yang tinggi di dalam tanaman
tersebut, menjaga kestabilan suhu serta meningkatkan daya tahan terhadap cahaya
matahari. Jika penyungkupan di lakukan dengan benar maka kemungkinan tanaman
tersebut dapat hidup adalah besar, jika tidak benar maka tanaman akan
terkontaminasi dengan mikroorganisme yang ada di udara dan lama-lama akan mati.
Teknik penyungkupan yang benar adalah tidak ada ruang untuk di masukin oleh
mikroorganisme sehingga ruangan di dalam selungkup benar-benar lembab dan
steril.
Kemudian selanjutnya adalah teknik
aseptik dimana dalam hal ini teknik aseptik sangatlah penting agar tidak
terjadi kontaminasi dalam planlet yang mengakibatkan planlet tidak dapat
berkembang biak atau tumbuh. Sehingga pasir yang mengandung banyak sekali
mikroorganisme pathogen di dalamnya harus lah di sterilisasi terlebih dahulu
dengan cara di autoclaf untuk mengurangi kontaminasi yang berlebihan pada
tanaman ketika baru di pindahkan serta supaya tidak terjadi pembusukan pada
akar yang di akibatkan oleh bakteri atau jamur.
Hal tersebut sesuai dengan teori menurut Hendaryono (1994)
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan aklimatisasi, yaitu
kelembaban, intensitas cahaya dan temperature. Yang pertama adalah kelembaban.
Mempertahankan kelembaban relatif
yang tinggi untuk beberapa hari
pertama setelah aklimatisasi merupakan hal yang penting untuk
meningkatkan daya hidup planlet. Penurunan
kelembaban dan penurunan
intensitas cahaya harus
selambat mungkin dilakukan untuk
membentuk tanaman yang
makin kuat sehingga
tanaman tidak stres. Beberapa teknik
mendapatkan kelembaban yang
sesuai adalah dengan
menggunakan sistem penutupan dengan kantong plastik bening (sungkup),
sistem ini terbukti lebih baik dan relatif murah dan mudah dalam pengerjaannya.
Kemudian yang kedua intensitas cahaya. Dimana pada kondisi
in vitro, tanaman
disinari pada tingkat
cahaya yang rendah. Bila tanaman langsung
dipindahkan pada kondisi
dengan tingkat cahaya
yang tinggi maka daun akan menjadi kering seperti
terbakar. Untuk itu pada saat tanaman diaklimatisasi perlu diberikan
naungan. Naungan akan
mengurangi transpirasi dan
kelebihan cahaya yang dapat merusak
molekul klorofil. Setelah beberapa waktu dibawah naungan, tanaman secara
perlahan-lahan dipindahkan ke kondisi pencahayaan sebenarnya dimana tanaman
akan ditanam.
Kemudian temperature, dimana kondisi di
ruang aklimatisasi (rumah
kaca) diusahakan mempunyai
suhu berkisar antara 25oC–
30oC. Pengaturan suhu dapat juga dilakukan dengan melakukan penyiraman,
fentilasi terkontrol dan sistem pengkabutan.
Perlu ditekankan baha pada saat
aklimatisasi, segala hal harus dilakukan sesuai dengan prosedur untuk
mendapatkan hasil aklimatisasi yang bagus. Umumnya biakan hasil kultur jaringan yang akan di aklimatisasi harus berupa planlet artinya biakan harus mempunyai perakaran dan pertunasan
yang proporsional. Aklimatisasi
pada tanaman vitro adalah fase terakhir dari budidaya dan sangat penting untuk
kelangsungan hidup dan keberhasilan pembentukan plantlet. Dengan kata lain,
persentase hidup ditentukan oleh pengerasan planlet. Yang dianggap lima faktor
yang sangat penting dan mereka harus disediakan dan dikontrol di aklimatisasi
selain kelembaban ini adalah substrat, suhu, cahaya dan sirkulasi udara. Hal yang
paling penting untuk menjaga kondisi permanen yaitu, untuk menghindari stres
(Lesar, dkk, 2012).
Hal yang serupa kami lakukan pada
praktikum terakhir ini yakni aklimatisasi. Menjaga medium dan lingkungan sangat
penting bagi keberhasilan aklimatisasi. Planlet masih sangat rentan dengan
kondisi luar. Untuk mendapatkan hasil tanaman kultur jaringan yang bagus, maka
pada harus diperhatikan faktor-faktor yang dapat merusak planlet. Kelembapan
harus dijaga, jangan terlalu banyak menyiramkan air pada medium karena dapat
merusak dan membusukkan akar planlet yang masih rentan. Jangan sampai tidak
menyiramkan air sama sekali pada medium karena planlet akan kehilangan nutrisi
mineral hingga planlet akan mengalami
kekeringan, menguning, layu kemudian mati. Selain itu suhu juga diatur
sedemikian rupa, tidak terlalu panas, dan cukup sejuk. Setelah itu yang harus
diperhatikan yakni pencahayaan dan sirkulasi udara.
Pada praktikum aklimatisasi ini digunakan
dua perlakuan dalam penggunaan media, yaitu media pasir untuk planlet kentang,
dan media akar pakis untuk planlet anggrek. Pasir yang digunakan untuk planlet
kentang ini merupakan pasir yang telah disterilisasi terlebih dahulu. Untuk
akar pakis, sebelum digunakan maka haris dihaluskan terlebih dahulu, misal
dengan dipukul-pukul. Hal ini sangat sesuai dengan pernyataan (Ahmed, dkk,
2012) yang menyatakan bahwa sebelum dilakukannya pemindahan tanaman ke pot
dengan media tanam yang berbeda-beda misalkan tanah atau gambut, maka media
tersebut harus disterilisasi terlebih dahulu. Perlakuan ini sangat membantu
tanaman dalam pertumbuhan dan perkembangan pada kondisi yang minim. Sedangkan
akar pakis merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan anggrek.
Selain media yang berbeda, dalam aklimatisasi ini juga diterapkan adanya
perlakuan penyungkupan tanaman. Dari ketiga gelas, terdapat satu botol dengan
perlakuan penyungkupan yakni botol dan tanaman ditutup dengan potongan botol
gelas mineral. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi adanya penguapan yang
berlebih pada tanaman. Planlet yang sebelumnya dikondisikan dengan baik pada
kondisi in vivo, lalu kemudian dipindahkan ke kondisi in vitro, maka terdapat
hal-hal yang membuat planlet cukup besar dalam melakukan adaptasi. Salah
satunya adalah mengenai suhu. Pabila suhu terlalu tinggi, maka cenderung
terjadi penguapan yang tinggi pula. Penguapan yang tinggi mengakibatkan planlet
sulit untuk melakukan pertumbuhan dan cenderung kehilangan mineral di dalam
sel-selnya. Maka dari itu, dilakukan penyungkupan untuk mengurangi adanya penguapan
yang berlebih.
BAB
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
1. Pertumbuhan tanaman kentang maupun tembakau yang di
aklimatisasi mengalami penurunan pertumbuhan terutama dari segi jumlah daun
dari pengamatan hari ke-4 ke pengamatan hari ke-5. Kondisi tanaman juga
mengalami penurunan yang ditandai dengan kelayuan tanaman baik tanaman kentang
maupun tembakau.
2. Tanaman yang di aklimatisasi berada dalam masa kritis,
karena merupakan pengkondisian awal dari kondisi in vitro ke kondisi in vivo
atau penyesuaian diri dari kondisi heterotrof ke kondisi autotrof.
3. Faktor-faktornya
diantaranya yaitu kelembaban, cahaya, temperature, teknik aseptik , dan teknik
penyungkupan.
4. Beberapa hal yang harus dihindari ketika melakukan
aklimatisasi, yaitu Kelembapan harus
dijaga, jangan terlalu banyak menyiramkan air pada medium karena dapat merusak
dan membusukkan akar planlet yang masih rentan. Jangan sampai tidak menyiramkan
air sama sekali pada medium karena planlet akan kehilangan nutrisi mineral hingga
planlet akan mengalami kekeringan,
menguning, layu kemudian mati. Selain itu suhu juga diatur sedemikian rupa,
tidak terlalu panas, dan cukup sejuk serta pencahayaan dan sirkulasi udara.
5. media yang digunakan tidaklah sama, sebab tergantung
tanamannya dapat eksis pada media apa dan perbedaan media ini supaya mengetahui
media yang baik dan sesuai dengan tanaman tersebut. Ada juga suatu perlakuan
yang dilakukan yaitu penyungkupan, botol dan tanaman ditutup dengan potongan
botol gelas mineral. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi adanya penguapan yang
berlebih pada tanaman.
5.2 Saran
Diharapkan
informasi dari setiap asisten sama sehingga tidak terjadi miskomunikasi dalam
menjalankan teknis prosedur dalam pengamatan, laporan, dan lain-lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmed, A. Bakrudeen Ali, dkk. 2012. In
Vitro regeneration, Acclimatization and Antimicrobial Studies of Selected
Ornamental Plants. Intech Journal.
Andalasari dkk. 2014. Respon Pertumbuhan Anggrek Dendrobium Terhadap
Jenis Media Tanam dan Pupuk Daun. Jurnal
Penelitian Pertanian Terapan 80 Volume
14, Nomor 1.
Ardisela, D. 2010. Pengaruh Dosis Rootone Terhadap Pertumbuhan
Crown Tanaman Nenas (Ananas comosus). Jurnal Agribisnis dan
Pengembangan Wilayah. 1(2):48-62.
Basri, Hasan, Zainuddin Basri dan Abd. Syakur. 2013. Aklimatisasi Bibit Tanaman Buah Naga (Hylocereus undatus) Pada Tingkat Naungan Berbeda. e-J.
Agrotekbis 1 (4) : 339-345. ISSN: 2338-3011.
Djajadi, Heliyanto B, Hidayah N,. 2010. Pengaruh Media Tanam dan
Frekuensi Pemberian AirTerhadap Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Tanah Serta
Pertumbuhan Jarak Pagar. JurnalLittri.
2 (16): 64-69
Dwiyanti, Rindang. 2012. Respon Pertumbuhan
Bibit Anggrek Dendrobium sp. pada Saat Aklimatisasi terhadap Beragam
FrekuensiPemberian Pupuk Daun.
Agrotrop, 2(2): 171- 175. ISSN:
2088-155X.
Lesar, Helena, dkk. 2012.
Acclimatization of Terrestial Orchid Blettilla
striata Rchb.f. (Orchidaceae) Propagated Under In Vitro Condition. Acta Agriculture Slovenica Journal, Code
1.01.
Mbosowo, E. 2015. Growth And Development Response Of Callus Segments Of
Irvingia GabonensisS Aubrey-Lecomte, Ex O’ Rorke Using Tissue Culture Technique.
Asian Journal of Science and Technology
Vol.06, Issue, 10, pp. 1860-1864, ISSN:
0976-3376.
Ogero, K.O. 2012. In vitro Micropropagation of Cassava Through Low Cost
Tissue Culture. Asian Journal of Agricultural Sciences
4(3): 205-209, ISSN: 2041- 3890.
Purnami N.L.,
Yuswanti H. dan Astiningsih. 2014. Pengaruh Jenis dan Frekuensi
Penyemprotan Leri Terhadap Pertumbuhan Bibit Anggrek Phalaeonopsis sp. Pasca
Aklimatisasi. Agroekoteknologi Tropika
ISSN: 2301-6515 Vol. 3, No. 1, Januari 2014.
Slamet. 2011. Perkembangan Teknik Aklimatisasi
Tanaman Kedelai Hasil Regenerasi Kultur In Vitro. Jurnal Litbang Pertanian,
30(2).
Sukmadjaja, Deden dan Ade Mulyana. 2011.
Regenerasi dan Pertumbuhan Beberapa
Varietas Tebu(Saccharum officinarum
L.) secara In Vitro. Jurnal AgroBiogen 7(2):106-118.
Syahid, Sitti Fatimah dan Natalini Nova
Kristina. 2008. Multiplikasi Tunas, Aklimatisasi
dan Analisis Mutu Simplisia Daun Encok (Plumbago
zeylanica L.) Asal Kultur In Vitro
Periode Panjang. Bul. Littro. vol. XIX
no. 2: 117 – 128.
Wahyudi, T. 2006. Panduan Lengkap KAKAO Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Depok : Penebar Swadaya.
Werner, E.T. 2016. Leaf Anatomy of Crambe Abyssinica Hochst. During In
Vitro Shoot Induction. African Journal of
Biotechnology. Vol. 15(18), pp. 722- 730, ISSN 1684-5315.
Wijayani, Ari., Hendaryono, Sriyanti. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta: Kanisius.
LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar